page

Sabtu, 28 April 2012

Pewaris Rasul SAW ( al Walid Habib Abdurrahman Assegaff )


Al Maghfurlah Al Walid Al Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir Assegaf, Bukit Duri


Nasab al walid

Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin
Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum
Habib Abdurrahman lahir tahun 1908 di Cimanggu, Bogor. Beliau adalah putra Habib Ahmad bin AbdulQadir Assegaf. Ayahandanya sudah wafat ketika beliau masih kecil, tapi kondisi itu tidak menjadi halangan baginya untuk giat belajar.
Pernah mengenyam pendidikan di Jami’at Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat memperihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya,Habib Ali bin Abdurrahman “Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata, “Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu”. Tidurnya pun di bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar.”
Ketika masih belajar di Jami’at Al-Khair, prestasinya sangat cemerlang. Beliau selalu menempati peringkat pertama. Nilainya bagus, akhlaqnya menjadi teladan teman-temannya. Untuk menuntut ilmu kepada seorang ulama, beliau tak segan-segan melakukannya dengan bersusah payah menempuh perjalanan puluhan kilometer. “Walid itu kalau berburu ilmu sangat keras. Beliau sanggup berjalan berkilo-kilo meter untuk belajar ke Habib Abdullah bin Muhsin Al-Aththas (Habib Empang Bogor).”
Selain Habib Empang, guru-guru Habib Abdurrahman yang lain adalah Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad ( Mufti Johor, Malaysia ), Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir AlHaddad, Habib Ali bin Husein Al-Aththas ( Bungur, Jakarta ), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi ( Kwitang, Jakarta ), K.H.Mahmud ( Ulama besar Betawi ) dan Prof.Abdullah bin Nuh ( Bogor ).
Semasa menunutut ilmu, Habib Abdurrahman sangat tekun dan rajin, itulah sebabnya beliau mampu menyerap ilmu yang diajarkan guru-gurunya. Ketekunannya yang luar biasa mengantarnya menguasai semua bidang ilmu agama. Kemampuan berbahasa yang baguspun mengantarnya menjadi penulis dan orator yang handal. Beliau tidak hanya sangat menguasai bahasa Arab, tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus.
Habib Abdurrahman tidak sekadar disayang oleh para gurunya, tapi lebih dari itu, beliau pun murid kebanggaan. Beliaulah satu-satunya murid yang sangat menguasai tata bahasa Arab, ilmu alat yang memang seharusnya digunakan untuk memahami kitab-kitab klasik yang lazim disebut “kitab kuning”. Para gurunya menganjurkan murid-murid yang lain mengacu pada pemahaman Habib Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan pemahaman dari segi tata bahasa.
Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Disinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin menyala. Beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik ( dari seruling sampai terompet ), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Belakangan, ketika berusia 20 tahun, beliau pindah ke Bukit Duri dan berbekal pengalaman yang cukup panjang, beliaupun mendirikan madrasah sendiri, Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, yang hingga sekarang masih eksis di Bukit Duri, Jakarta. Sebagai madrasah khusus, sampai kini Tsaqafah Islamiyah tidak pernah merujuk kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, mereka menerapkan kurikulum sendiri dan uniknya, Madrasah ini menggunakan buku-buku terbitan sendiri yang disusun oleh sang pendiri, Habib Abdurrahman Assegaf.. Disini, siswa yang cerdas dan cepat menguasai ilmu bisa loncat kelas.
Dunia pendidikan memang tak mungkin dipisahkan dari Habib Abdurrahman, yang hampir seluruh masa hidupnya beliau baktikan untuk pendidikan. Beliau memang seorang guru sejati. Selain pengalamannya banyak, dan kreativitasnya dalam pendidikan juga luar biasa, pergaulannya pun luas. terutama dengan para ulama dan kaum pendidik Jakarta.
Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai berbagai disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyak guru. Sebab ilmu yang dimilikinya tidak dapat diwariskan.
“Beliau konsisten dan tegas dalam mendidik anak. Beliau juga menekankan bahwa dirinya tidak mau meninggalkan harta sebagai warisan untuk anak-anaknya. Beliau hanya mendorong anak-anaknya agar mencintai ilmu dan mencintai dunia pendidikan. Beliau ingin kami konsisten mengajar, karenanya beliau melarang kami melibatkan diri dengan urusan politik maupun masalah keduniaan, seperti dagang, membuka biro haji dan sebagainya. Jadi, sekalipun tidak besar, ya….sedikit banyak putra-putrinya bisa mengajar,” kata Habib Umar merendah.
Habib Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang; diantaranya Habib Muhammad, pemimpin pesantren di kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib Alwi, memimpin Majlis Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri; Habib Umar, memimpin pesantren dan Majlis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukit Duri dan Habib Abu Bakar, memimpin pesantren Al-Busyro di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan orang.
Sebagai Ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari Tauhid, Tafsir, Akhlaq, Fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu dan Sunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain, Hilyatul Janan fi Hadyil Qur’an, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bunyatul Umahat dan Buah Delima. Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas dan memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah Tsaqafah Islamiyyah.
Habib Abdurrahman juga dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin, sederhana dan ikhlas. Dalam hal apapun beliau selalu mementingkan kesederhanaan. Dan kedisiplinannya tidak hanya dalam hal mengajar, tapi juga dalam soal makan. “Walid tidak akan pernah makan sebelum waktunya. Dimanapun ia selalu makan tepat waktu.” Kata Habib Ali.
Mengenai keikhlasan dan kedermawanannya, beliau selalu siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Pada tahun 1960-an, Habib Abdurrahman mengalami kebutaan selama lima tahun. Namun musibah itu tak menyurutkan semangatnya dalam menegakkkan syiar islam. Pada masa-masa itulah beliau menciptakan rangkaian syair indah memuji kebesaran Allah swt dalam sebuah Tawasul, yang kemudian disebut Tawasul Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Sebagai Ulama besar, Habib Abdurrahman juga dikenal memiliki karomah. Misalnya, ketika beliau membuka Majlis Taklim Al-Buyro di Parung Banteng Bogor sekitar tahun 1990, sebelumnya sangat sulit mencari sumber air bersih di Parung Banteng Bogor. Ketika membuka majlis Taklim itulah, Habib Abdurrahman bermunajat kepada Allah swt selama 40 hari 40 malam, mohon petunjuk lokasi sumber air. Pada hari ke 41, sumber belum juga ditemukan. Maka Habib Abdurrahman pun meneruskan munajatnya.
Tak lama kemudian, entah darimana, datanglah seorang lelaki membawa cangkul. Dan serta merta ia mencangkul tanah dekat rumah Habib Abdurrahman. Setelah mencangkul, ia berlalu dan tanah bekas cangkulan itu ditinggal, dibiarkan begitu saja. Dan, subhanallah, sebentar kemudian dari tanah bekas cangkulan itu merembeslah air. Sampai kini sumber air bersih itu dimanfaatkan oleh warga Parung Banteng, terutama untuk keperluan Majelis Taklim Al-Busyro. Menurut penuturan Habib Abdurrahman, lelaki pencangkul itu adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Wafatnya Habib Abdurrahman Assegaf
Suatu hari, seorang santri Darul Musthafa, Tarim Hadramaut, asal Indonesia, mendapat pesan dari seoranh ulama besar disana, Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi Syahab. “Saya mimpi bertemu Rasulullah SAW, tapi wajahnya menyerupai Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong beritahu anak-anak beliau di Indonesia. Katakan, mulai saat ini, jangan jauh-jauh dari walid ( orang tua ).”
Sang santri itu langsung menelepon keluarganya di Indonesia. Hingga akhirnya kabar dari ulama Hadramaut itu diterima keluarga Habib Abdurrahman di Bukit Duri Jakarta.
Seminggu kemudian, apa yang diperkirakan itu pun tiba. Tepatnya Senin Siang jam 12.45, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 rabiul Awal 1428 H, langit Jakarta seakan mengelam. Kaum muslim ibu kota terguncang oleh berita wafatnya Al-Alamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman Assegaf, dalam usia kurang lebih 100 tahun.
Jenazah ulama besar yang ilmu, akhlaq dan keistiqamahannya sangat dikagumi itu, disemayamkan di ruang depan rumahnya yang bersahaja, tepat di sisi Sekretariat Yayasan Madrasah Tsaqofah Islamiyah, di jln. Perkutut no.273, Bukit Duri Puteran , Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat tahlil dan pembacaan Surat Yaa siin bergema sepanjang hari sampai menjelang pemakamannya keesokan harinya. Sebuah tenda besar tak mampu menampung gelombanh jemaah yang terus berdatangan bak air bah. Pihak keluarga memutuskan pemakaman akan dilakukan ba’da zhuhur di pemakaman Kampung Lolongok, tepatnya di belakang Kramat Empang.
Acara pelepasan jenazah dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga, yang diwakili Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Dengan nada sendu, pengasuh Majlis Taklim Al-Affaf itu mengucapkan terima kasih kepada para pecinta Habib Abdurrahman Assegaf yang telah datang bertakziah dan membantu proses pengurusan jenazah. Selanjutnya putra kedua Habib Abdurrahman tersebut mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum.”Beliau rindu kepada Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa rindu itu lewat sholawat-sholawat yang tak pernah lepas dari bibirnya setiap hari.” Katanya.
Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan pun mulai sesunggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara, tampil dengan suara bergetar.
“hari ini, tidak seperti hari-hari yang lalu, kita berbicara tentang bagaimana memelihara anak yatim. Tapi, kali ini, kita semua menjadi anak-anak yatim.” Kata Habib Ali, yang mengibaratkan hadirin sebagai anak yatim. Betapa tidak, Habib Abdurrahman dianggap sebagai orang tua tidak hanya oleh keluarganya, tapi juga oleh jamaah. Semasa hidupnya, beliau senantiasa mengayomi, membimbing dan setia mendengar keluh kesah jamaah. Tapi kini, sang pelita itu telah pergi. Sebagian hadirin terguguk menangis, bahkan ada yang histeris.
“Kepergian Walid sudah diramal jauh-jauh hari. Suatu hari beliau pernah berkata kepada saya, “Umimu dulu yang bakal berpulang kepada Allah swt, setelah itu baru saya. Dan benarlah, ibunda Hj.Barkah ( istri Walid ) berpulang sekitar tujuh bulan yang lalu, tepatnya pada 26 Juli 2006. wali juga pernah berkata kepada keluarga, “Saya pulang pada hari senin, kasih tahu saudara-saudaramu.”
Jam 12.00, jenazah disholatkan di depan kediaman Walid, dengan Imam, Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Haddad 9 Al-Hawi Condet ). Pada hari itu juga, besan Habib Abdurrahman, Syarifah Rugayah binti Muhammad bin Ali Al-Attas juga wafat.
Pukul 13.00, iring-iringan jenazah mulai bergerak menuju Empang Bogor, melalui jalan Tol Jagorawi. Ribuan kendaraan mengiringi ambulance yang membawa jenazah.
Disaat mobil jenazah yang didihului dua mobil pengawal dari kepolisian mendekati pintu makam pukul 16.15, konsentrasi massa yang terpusat disitu luar biasa banyaknya. Suasana pun menjadi agak gaduh. Maka setelah jenazah dikeluarkan dari mobil ambulance dan dibawa menuju liang lahat sekitar 30 meter dari pintu masuk, suasana penuh kesedihan sungguh sangat terasa. Banyak yang tak kuasa menahan tangis.
Segera setelah itu, jenazah dimasukkan ke liang lahat sambil terus diiringi dzikir yang tak henti dari para jemaah.
Mewakili Shohibul bait, Habib Hamid bin Abdullah al-Kaff, pengasuh pondok pesantren Al-Haramain Asy-Syarifain Pondok Ranggon Cipayung, memberikan tausiyah, “Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam lampu yang sangat besar, yang menerangi kota Jakarta,” katanya.
“Beruntunglah murid-muridnya yang telah menimba ilmu pada almarhum. Ingatlah selalu pesan almarhum, saya sering mendengar pada acara haul, kalau saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah mengirimkan fatihah untuk saya.’ Maka marila dalam pembacaan Fatihah-fatihah yang biasa kita baca, kita kirim untuk almarhum.”

Semuanya Ulama 

Habib Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang, namun yang ada hingga saat ini sembilan orang; lima putra dan tiga putri. Hebatnya, kesembilan anak tersebut adalah ulama yang disegani dan berpengaruh di masyarakat. Mereka adalah Habib Muhammad, memimpin pesantrennya di kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib Alwi, memimpin Majelis Taklim Zaadul Muslim di Bukitduri; Habib Umar, memimpin Pesantren dan Majelis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukitduri; dan Habib Abu Bakar, memimpin Pesantren Al-Busyo di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan orang. Sementara tiga putrinya pun mempunyai jamaah tersendiri. Sub-hanallah….
Sebagai ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari tauhid, tafsir, akhlaq, fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu dan Sunda yang ditulis dengan huruf Arab – dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain,
§  Hilyatul Janan fi Hadyil Quran,
§  Syafinatus Said, Misbahuz Zaman,
§  Bun-yatul Umahat, dan
§  Buah Delima.
Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas, dan memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah Tsaqafah Islamiyyah.
Sang Walid Telah Berpulang
Senin siang, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 Rabi`ul-Awwal 1428 H, langit Jakarta berwarna kelabu. Pukul 12.45 WIB, kaum muslimin Jakarta terguncang oleh berita wafatnya Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dalam usia sekitar 100 tahun.
Baru sekitar seminggu sebelum kepulangan sang walid, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, pihak keluarga Habib Ali mendapat telepon dari Hadramaut, dimana ada seorang ulama yang tinggal di Tarim, Hadhramaut, yakni Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah Syihabuddin dalam sebuah majelis yang di hadiri banyak orang, ia berkata, “Saya bermimpi Rasulullah SAW, wajahnya seperti wajah Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong kasih tahu anak-anaknya Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, saya sangat senang dan kasih tahu kabar gembira ini pada orang-orang yang ke Indonesia.”
Mendengar kabar dari Hadhramaut, pihak keluarga Habib Abdurrahman Assegaf seperti mendapat tanda akan kepergian dari sang walid. Seluruh keluarga pun dalam waktu singkat, berusaha untuk dikumpulkan semua. Dan apa yang telah dikhawatirkan jauh-jauh hari itu, akhirnya tiba.
Senin siang, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 Rabi`ul-Awwal 1428 H, langit Jakarta berwarna kelabu. Pukul 12.45 WIB, kaum muslimin Jakarta terguncang oleh berita wafatnya Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dalam usia sekitar 100 tahun.
Hari itu, berita wafatnya ulama terkemuka yang sangat dicintai warga Jakarta tersebut mendominasi pembicaraan melalui telepon dan SMS. Dalam waktu yang hampir bersamaan, masjid-masjid pun mengumumkan wafatnya sang walid, seraya membacakan surah Al-Fatihah. Kaum muslimin Jakarta benar-benar berduka dan kehilangan, ditinggal pergi sesepuh dan panutannya.
Jenazah ulama besar yang ilmu, akhlaq, dan istiqamahnya sangat dikagumi itu, disemayamkan di ruang depan rumahnya, tepat di sisi sekretariat Yayasan Madrasah Tsaqofah Islamiyyah yang terletak di Jl Perkutut no 273, Bukit Duri Puteran, Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat tahlil dan pembacaan Al-Qur’an bergema sepanjang hari Senin sampai jelang pemakamannya pada hari Selasa. Sebuah tenda besar tak mampu menampung jama’ah yang terus berdatangan bergelombang bak air bah, mereka rela duduk dengan beralaskan tikar atau karton bekas di sepanjang jalan menuju kediaman almarhum.
Sejak awal, pihak keluarga telah memperkirakan para penakziah akan terus berdatangan hingga malam hari, bahkan esok harinya. Karena itu diputuskan, pemakaman akan dilakukan ba’da dzuhur di Pemakaman kampung Lalongok, Kramat Empang, Bogor, tiada lain untuk memberi kesempatan kepada semua pelayat yang ingin melepas kepergian sang walid yang terakhir kalinya.
Karena sangat banyaknya pelayat, mencapai puluhan ribu orang yang datang sejak berita kabar sang walid wafat, pihak keluarga hanya mempersilahkan per lima habaib dan jamaah untuk menatap wajah sang walid. Praktis, prosesi ini membuat antrean panjang dan berdesak-desakan di sekitar halaman rumah dari hari Senin siang sampai Selasa siang.
Bisa dibilang, semua habib dan ulama terkemuka se-Jabodetabek hadir untuk bertakziah, bahkan murid-murid sang walid dari berbagai penjuru Indonesia juga hadir. Tidak hanya itu, tamu dari luar negeri juga ikut bertakziah, seperti dari Malaysia, Singapura, Brunei, Maroko, Mesir, Yaman, Saudi dan lain-lain.
Para pejabat dan mantan negara juga tampak bertakziah di kediaman almarhum, seperti pada Selasa pagi, Drs. H. Surya Darma Ali (menteri usaha koperasi dan menengah), H. Fauzi Bowo (wagub DKI Jakarta), H. Hamzah Haz (mantan Wapres RI) dan lain-lain.
Selasa (27/3) Tepat pukul 10.00, jenazah dimandikan dan selepas itu pihak keluarga melakukan pelepasan terakhir di sisi tengah rumah almarhum secara tertutup. Baru pada pukul 11.45, jenazah sang walid dibawa ke luar untuk dishalatkan.
Acara dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga almarhum, yang diwakili oleh Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Dengan nada sendu, pengasuh Majelis Taklim Al-‘Afaf itu mengungkapkan terima kasih atas pelaksanaan pemakaman almarhum. Selanjutnya, Habib Ali mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum. “Beliau rindu kepada Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa rindu itu dalam bentuk syariat-syariat beliau,” katanya.
Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan itu mulai sesenggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara atas nama keluarga sang walid, tampil dengan nada suara yang sesekali bergetar menahan haru. Habib terkemuka di Jakarta itu kemudian menceritakan tentang tanda-tanda akan kepergian almarhum.
Habib Ali lalu melanjutkan tentang rasa kehilangan yang mendalam atas kepergian sang walid. “Pada hari ini kita tidak datang pada hari-hari yang lalu, datang pada beliau untuk tidak berbicara. Kita memelihara anak yatim, tapi kali ini kita menjadi anak-anak yatim,” kata Habib Ali. Sebagian hadirin semakin histeris, bahkan ada yang sampai terduduk menangis.
“Kepergian sang walid sudah diramal jauh-jauh hari, ”Umimu dulu yang bakal berpulang kepada Allah SWT, setelah itu baru saya,” kata walid. Dan benarlah, Ibunda Hj Barkah (istri sang walid) telah berpulang sekitar tujuh bulan yang lalu, tepatnya pada 26 Juli 2006. Selain itu, lanjut Habib Ali, al walid juga pernah berkata pada keluarga, ’Saya pulang pada hari Senin, kasih tahu saudara-saudaramu’.”
Tepat pukul duabelas siang, jenazah mulai dishalatkan dengan imam Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Hadad (Al-Hawi, Condet). Kebetulan saat pada hari itu juga, mertua dari Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, yakni Syarifah Syarifah Rugayah binti Habib Muhammad bin Ali Al-Attas juga wafat dan ikut dishalatkan dengan bertindak sebagai imam shalat yakni Habib Syekh bin Abdurrahman Alattas.
Selepas doa oleh Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaff, iringan-iringan jenazah bergerak keluar dari kediaman dan sempat berhenti di masjid Jami Al-Makmur, Bukit Duri, Tebet untuk kemudian jenazah kemudian dishalatkan kembali dengan imam Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan sekaligus shalat Dzuhur berjamaah.
Sekitar pukul 13.00 iring-iringan yang membawa jenazah mulai bergerak menuju ke Bogor melalui Pancoran dan lewat tol menuju Empang. Ribuan kendaraan roda dua dan roda empat tampak mengiringi mobil ambulan yang membawa jenazah, tampak menyemut hingga 10 kilometer memadati jalan raya.
Sekitar pukul 15.30 jenazah kembali disemayamkan di Masjid An-Nur, Kramat Empang, Bogor. Lepas itu baru jenazah diberangkatkan ke makam kampung Lolongok yang terletak sekitar satu kilo di sebelah utara komplek makam Kramat Empang.
Mewakili sahibul bait, Habib Hamid bin Abdullah Assegaf memberikan taushiah, ”Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam, lampu yang sangat besar di kota Jakarta,” katanya.
Beruntung, lanjutnya, bagi murid-muridnya yang telah menimba ilmu pada almarhum. Ingatlah selalu pesan almarhum, saya sering mendengar pada acara Haul, ’Kalau saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah mengirimkan fatihah untuk saya.’ Maka marilah dalam pembacaan fatihah-fatihah yang biasa kita baca, kirimkanlah untuk almarhum.
Sekitar pukul 17.00, prosesi pemakaman sang walid yang diikuti oleh sekitar seratus ribu muhibbin itu berakhir sudah. Sebenarnya masih banyak jamaah yang tertahan di luar komplek makam, karena kendaraannya tak bisa masuk dan mereka rela menunggu jauh di luar komplek makam. Jakarta kembali kehilangan seorang ulama besar.

Tidak ada komentar: