Imam Ja'far Ash Shadiq
Semenjak dahulu Syi`ah mengklaim bahwa mereka mengikuti manhaj
dan langkah Ja`far Ash Shadiq. Madzhab mereka dalam bidang fiqih adalah
ucapan-ucapan dan pendapat-pendapatnya. Karena mereka menamakan dirinya sebagai
Ja`fariyun, padahal Ja`far berlepas diri dari mereka dan orang-orang seperti
mereka. Mereka tidak berada di atas manhaj dan langkah-langkahnya dan dia
bukanlah pemilik manhaj dan langkah-langkah yang diklaim tersebut.
Mereka menukil dari Ja`far tanpa sanad atau dengan sanad
maudhu` (dipalsukan) atau dhaif atau maqthu` (terputus).
Dan ini berlaku untuk para imam yang lain. Sudah dimaklumi bersama bahwa Syi`ah
sangat kurang dan lemah dalam ilmu sanad, karena mereka tidak berpengalaman di
dalam agamanya. Agama mereka adalah agama masyayikh mereka. Apa yang dikatakan
oleh masyayikh, mereka menukilnya dari mereka tanpa memilih dan memilah. Salah
seorang Syaikh Rafidhah telah mengakui dan dan membenarkan hal ini bahwa mereka
menerapkan ilmu al jarh wa at ta`dil sebagaimana ahlus sunnah, maka tidak
tersisa sedikitpun dari hadits mereka. Orang Syi`ah telah banyak berdusta atas
Ja`far Ash Shadiq, mereka menasabkan kepadanya banyak sekali dari
riwayat-riwayat yang dibuat-buat, hingga pada akhirnya mereka pada perubahan
dan penggantian ayat-ayat Al Qur-an.
Sebagaimana mereka menasabkan sebagian kitab kepada Ja`far.
Padahal para ahli ilmu bersaksi bahwa kitab-kitab itu dipalsukan atas namanya.
Diantara kitab-kitab tersebut adalah:
- Kitab Rasail Ikhwan Ash Shafa. Kitab ini dikarang lebih dari
dua ratus tahun setelah wafatnya Ja`far, pada waktu Dinasti Buwaihiyyah. Pada
abad ketiga hijriyah (321 H - 447 H). Sementara Ja`far telah wafat pada tahun
148 H. Kitab ini banyak berisi kekufuran, kebodohan dan juga filsafat buta yang
tidak layak bagi Ja`far Ash Shadiq dan ilmunya. Semoga Allah merahmati beliau
dengan rahmat yang luas.
- Kitab Al Ja`far, yaitu kitab ramalan-ramalan tentang kejadian
dan ilmu ghaib.
- Kitab Ilm Al Bithaqah.
- Kitab Al Jadawil atau Jadawil Al Hilal, telah memalsukan atas
nama Abdullah bin Mu`awiyah salah seorang yang sudah terkenal dengan
kebohongan.
- Kitab Al Haft.
- Kitab Ikhtilaj Al A`dha.
Juga kitab-kitab lain seperti Qaus Qazah (pelangi) dan disebut
Qaus Allah, Tafsir Al Qur-an, Manafi` Al Qur-an, Qira`ah Al Qur-an fi Al Manam,
Tafsir Qira`ah As Surah fi Al Manam dan Al Kalam `ala Al Hawadits.
Tidak ada satu penetapan yang jelas di kalangan Syi`ah bahwa
kitab-kitab ini adalah kitab-kitab Ja`far Ash Shadiq selain oleh Abu
Musa Jabir bin Hayyan Ash Shufi Ath Tharthusi Al Kimai (200 H). Ibnu Hayyan ini diragukan tentang agama dan amanahnya.
Dia memang menjadi teman bagi Ja`far, tetapi bukan Ja`far Ash Shadiq melainkan
Ja`far Al Barmaki. Diantaranya yang mengukuhkannya adalah Ibnu Hayyan tinggal
di Baghdad sementara Ja`far Ash Shadiq tinggal di Madinah. Juga abad pertama
dan abad kedua tidak membutuhkan kitab-kitab dan risalah-risalah seperti yang
telah dinasabkan kepada Ja`far Ash Shadiq ini.
Sekapur Sirih Tentang Kehidupan
Ja`far Ash Shadiq
Dia adalah Imam Ja`far bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin
bin Al Husain bin Ali bin Abu Thalib. Begitu pula ia adalah keturunan dari Abu
Bakar Ash Shiddiq, karena ibunya adalah Ummu Farwah binti Al Qasim bin Muhammad
bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Dan nenek dari ibunya adalah Asma binti Abdurrahman
bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Semoga Allah meridhai mereka semua. Karena itu
Ja`far Ash Shadiq berkata, Aku dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali.
(Syiar `A`lam An Nubala : 259).
Dia dilahirkan di Madinah tahun 80 H dan wafat tahun 148 H dalam
usia mendekati 68 tahun. Dia wafat di tempat dia dilahirkan yaitu Madinah. Dia
meninggalkan tujuh putra: Ismail, Abdullah, Musa Al Kazhim, Ishaq, Muhammad,
Ali dan Fathimah.
Dia benar-benar shadiq, jujur dalam ucapannya dan perbuatannya,
tidak dikenal dari diri Ja`far selain sifat shidq (jujur, benar), karena itu
digelar ash shadiq. Dia juga digelari al imam oleh ahlus sunnah karena
kedalaman dan keluasan ilmunya. Ja`far menimba ilmu dari para sahabat besar
seperti Sahl
bin Sa`ad As Sa`idi
dan Anas
bin Malik
Radhiyallahu anhu dan dari ulama tabi`in seperti Atha`
bin Abi Rabah, Muhammad
bin Syihab Az Zuhri, Urwah
bin Az Zubair, Muhammad
bin Al Munkadir, Abdullah
bin Abu Rafi`
dan Ikrimah
Mawla bin Al Abbas
Radhiyallahu anhuma.
Diantara murid-muridnya adalah Imam
Malik,
Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats Tsauri, Syu`bah bin Al Hajjaj dan
Sufyan bin Uyainah. Para ulama Islam telah banyak memuji dan menyanjung.
Ja`far Ash Shadiq termasuk orang yang sangat mencintai kakeknya
Abu Bakar Ash Siddiq dan juga Umar bin Khaththab Radhiyallahu `anhu. Beliau
sangat mengagungkan keduanya karena itu beliau sangat membenci Rafidhah yang
telah membenci keduanya.
Ja`far juga membenci Rafidhah yang telah menetapkannya sebagai imam yang ma`sum. Diriwayatkan oleh Abdul Jabbar bin Al Abbas Al Hamdzani bahwa Ja`far bin Muhammad mendatangi mereka ketika mereka hendak meninggalkan Madinah, dia (Ash Shadiq) berkata,
Ja`far juga membenci Rafidhah yang telah menetapkannya sebagai imam yang ma`sum. Diriwayatkan oleh Abdul Jabbar bin Al Abbas Al Hamdzani bahwa Ja`far bin Muhammad mendatangi mereka ketika mereka hendak meninggalkan Madinah, dia (Ash Shadiq) berkata,
Sesunggunya kalian
insya Allah adalah termasuk orang-orang shalih di negeri kalian, maka
sampaikanlah kepada mereka ucapanku, `Barangsiapa mengira bahwa aku adalah imam
ma`shum yang wajib ditaati maka aku benar-benar tidak ada sangkut paut
dengannya. Dan barangsiapa mengira bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan
Umar maka aku berlepas diri daripadanya`. (Syiar `A`lam An
Nubala : 259).
Muhammad bin Fudhail menceritakan dari Salim bin Abu
Hafshah, Saya bertanya kepada Abu Ja`far dan putranya, Ja`far, tentang Abu
Bakar dan Umar. Maka dia berkata, `Wahai Salim cintailah keduanya dan berlepas diri
musuh-musuhnya karena keduanya adalah imam huda.` Kemudian Ja`far berkata, `Hai Salim apakah ada orang yang mencela kakeknya? Abu
Bakar adalah kakekku. Aku tidak akan mendapatkan syafaat Muhammad Shallallahu
`alaihi wasallam pada hari kiamat jika aku tidak mencintai keduanya dan
memusuhi musuh-musuhnya.` Ucapan imam Ash Shadiq seperti ini dia ucapkan dihadapan
bapaknya, Imam Muhammad bin Ali Al Baqir dan dia tidak mengingkarinya. (Tarikh Al Islam 6/46)
Hafsh bin Ghayats murid dari Ash Shadiq berkata, Saya mendengar
Ja`far bin Muhammad berkata, `Aku tidak mengharapkan syafaat untukku sedikit pun
melainkan aku berharap syafaat Abu Bakar semisalnya. Sungguh dia telah
melahirkanku dua kali.
Sebagaimana murid Ja`far yang tsiqat lainnya yaitu Amr
bin Qa-is Al Mulai
mengatakan, Saya mendengar Ibnu Muhammad (Ash Shadiq) berkata, `Allah ta`ala berlepas
diri dari orang yang berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar`. (Syiar Alam An Nubala : 260).
Zuhair bin Mu`awiyah berkata, Bapaknya berkata kepada Ja`far bin
Muhammad, `Sesungguhnya saya memiliki tetangga, dia mengira bahwa engkau berbara`
(berlepas diri) dari Abu Bakar dan Umar`. Maka Ja`far berkata, `Semoga Allah berbara`
dari tetanggamu itu, demi Allah sesungguhnya saya berharap mudah-mudahan Allah
memberikan manfaat kepadaku karena kekerabatanku dengan Abu Bakar. Sungguh aku telah
mengadukan (rasa sakit) maka aku berwasiat kepada pamanku (dari ibu)
Abdurrahman bin Al Qasim. (At Taqrib, Ibnu Hajar, Tarikh Al Islam, Adz Dzahabi).
Semua teks ini adalah dari Ja`far Ash Shadiq, secara jelas
menjelaskan kecintaanya kepada Abu Bakar dan Umar, wala`nya kepada keduanya
serta taqarrubnya kepada Allah dengan wasilah mahabbah dan wala` tersebut. Juga
menunjukkan kebencian kepada yang membenci keduanya dan bara` kepada yang bara`
dari keduanya. Bahkan bara`nya dari orang yang meyakini imamah dan
kema`shumannya. Dan permohonannya kepada Allah agar Allah memutus segala
Rahmat-Nya dari orang-orang yang memusuhi Abu Bakar dan Umar.
dari kiri ke kanan :
Imam Hasan ra, Imam Zainal Abidin, Imam Muhammad Al Baqir, Imam
Ja’far Shodiq
Beliau adalah Al-Imam Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah
meridhoi mereka semua). Beliau terkenal dengan julukan Ash-Shodiq (orang yang jujur). Beliau biasa dipanggil dengan
panggilan Abu Abdullah dan juga dengan panggilan Abu Ismail. Ibu beliau adalah
Farwah bintu Qasim bin Muhammad bin Abubakar Ash-Shiddiq. Sedangkan ibu dari
Farwah adalah Asma bintu Abdurrahman bin Abubakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu,
beliau (Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) pernah berkata, “Abubakar (Ash-Shiddiq) telah
melahirkanku dua kali.” Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq dilahirkan di kota
Madinah pada hari Senin, malam ke 13 dari Rabi’ul Awal, tahun 80 H (ada yang
menyebutkan tahun 83 H). Banyak para imam besar (semoga Allah meridhoi mereka)
yang mengambil ilmu dari beliau, diantaranya Yahya bin Sa’id, Ibnu Juraid, Imam
Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Hanifah, Su’bah dan Ayyub.
Banyak ilmu dan pengetahuan yang diturunkan dari beliau, sehingga nama beliau tersohor luas seantero negeri. Umar bin Miqdam berkata, “Jika aku melihat kepada Ja’far bin Muhammad, aku yakin bahwa beliau adalah keturunan nabi.” Sebagian dari mutiara kalam beliau (Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) adalah: “Tiada bekal yang lebih utama daripada takwa. Tiada sesuatu yang lebih baik daripada diam. Tiada musuh yang lebih berbahaya daripada kebodohan. Tiada penyakit yang lebih parah daripada berbohong.” “Jika engkau mendengar suatu kalimat dari seorang muslim, maka bawalah kalimat itu pada sebaik-baiknya tempat yang engkau temui. Jika engkau tak mampu untuk mendapatkan wadah tempat kalimat tersebut, maka celalah dirimu sendiri.” “Jika engkau berbuat dosa, maka memohon ampunlah, karena sesungguhnya dosa-dosa itu telah dibebankan di leher-leher manusia sebelum ia diciptakan. Dan sesungguhnya kebinasaan yang dahsyat itu adalah terletak pada melakukan dosa secara terus-menerus.”
Banyak ilmu dan pengetahuan yang diturunkan dari beliau, sehingga nama beliau tersohor luas seantero negeri. Umar bin Miqdam berkata, “Jika aku melihat kepada Ja’far bin Muhammad, aku yakin bahwa beliau adalah keturunan nabi.” Sebagian dari mutiara kalam beliau (Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) adalah: “Tiada bekal yang lebih utama daripada takwa. Tiada sesuatu yang lebih baik daripada diam. Tiada musuh yang lebih berbahaya daripada kebodohan. Tiada penyakit yang lebih parah daripada berbohong.” “Jika engkau mendengar suatu kalimat dari seorang muslim, maka bawalah kalimat itu pada sebaik-baiknya tempat yang engkau temui. Jika engkau tak mampu untuk mendapatkan wadah tempat kalimat tersebut, maka celalah dirimu sendiri.” “Jika engkau berbuat dosa, maka memohon ampunlah, karena sesungguhnya dosa-dosa itu telah dibebankan di leher-leher manusia sebelum ia diciptakan. Dan sesungguhnya kebinasaan yang dahsyat itu adalah terletak pada melakukan dosa secara terus-menerus.”
“Barangsiapa yang rizkinya lambat, maka perbanyaklah
istighfar. Barangsiapa yang dibuat kagum oleh sesuatu dan menginginkannya
demikian terus, maka perbanyaklah ucapan maa syaa-allah laa quwwata illa
billah.” “Allah telah memerintahkan kepada dunia, ‘Berkhidmatlah kepada orang yang
berkhidmat kepadaku, dan buatlah payah orang yang berkhidmat kepadamu.’ ” “Fugaha itu
orang yang memegang amanah para rasul, selama tidak masuk ke dalam pintu-pintu
penguasa.” “Jika engkau menjumpai sesuatu yang tidak engkau sukai dari
perbuatan saudaramu, maka carilah satu, atau bahkan sampai tujuh puluh alasan,
untuk membenarkan perbuatan saudaramu itu. Jika engkau masih belum
mendapatkannya, maka katakanlah, ‘Semoga ia mempunyai alasan tertentu (kenapa
berbuat demikian) yang aku tidak mengetahuinya.’ ” “Empat hal yang tidak seharusnya
bagi seorang yang mulia untuk memandang rendah: bangunnya dia dari tempat
duduknya untuk menemui ayahnya, berkhidmatnya dia kepada tamunya, bangunnya dia
dari atas binatang tunggangannya, dan berkhidmatnya dia kepada seorang yang
menuntut ilmu kepadanya.” “Tidaklah kebaikan itu sempurna kecuali dengan tiga
hal : menganggapnya rendah (tidak berarti apa-apa), menutupinya dan
mempercepatnya. Sesungguhnya jika engkau merendahkannya, ia akan menjadi agung.
Jika engkau menutupinya, engkau telah menyempurnakannya. Jika engkau
mempercepatnya, engkau akan dibahagiakannya.”
Dari sebagian wasiat-wasiat beliau kepada putranya, Musa: “Wahai putraku,
barangsiapa yang menerima dengan ikhlas apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah
daripada rizki, maka ia akan merasa berkecukupan. Barangsiapa yang
membentangkan matanya untuk melihat apa-apa yang ada di tangannya selainnya,
maka ia akan mati miskin. Barangsiapa yang tidak rela dengan apa-apa yang telah
dibagikan oleh Allah daripada rizki, maka berarti ia telah menuduh Allah di
dalam qadha’-Nya.” “Barangsiapa yang memandang rendah kesalahannya sendiri,
maka ia akan membesar-besarkan kesalahan orang lain. Barangsiapa yang memandang
kecil kesalahan orang lain, maka ia akan memandang besar kesalahannya sendiri.”
“Wahai anakku, barangsiapa yang membuka kesalahan orang lain, maka akan
dibukakanlah kesalahan-kesalahan keturunannya. Barangsiapa yang menghunuskan
pedang kezaliman, maka ia akan terbunuh dengannya. Barangsiapa yang menggali
sumur agar saudaranya masuk ke dalamnya, maka ia sendirilah yang nanti akan
jatuh ke dalamnya.” “Barangsiapa yang masuk ke dalam tempat-tempat orang-orang
bodoh, maka ia akan dipandang rendah. Barangsiapa yang bergaul dengan ulama, ia
akan dipandang mulia. Barangsiapa yang masuk ke dalam tempat-tempat kejelekan,
maka ia akan dituduh melakukan kejelekan itu.” “Wahai putraku, janganlah engkau
masuk di dalam sesuatu yang tidak membawa manfaat apa-apa kepadamu, supaya
engkau tidak menjadi hina.” “Wahai putraku, katakanlah yang benar, walaupun
berdampak baik kepadamu ataupun berdampak buruk.” “Wahai putraku, jadikan
dirimu memerintahkan kebaikan, melarang kemungkaran, menyambung tali
silaturrahmi kepada seorang yang memutuskan hubungan denganmu, menyapa kepada
seorang yang bersikap diam kepadamu, dan memberi kepada seorang yang meminta
darimu. Jauhilah daripada perbuatan mengadu domba, karena hal itu akan
menanamkan kedengkian di hati manusia. Jauhilah daripada perbuatan membuka
aib-aib manusia.” “Wahai putraku, jika engkau berkunjung, maka kunjungilah
orang-orang yang baik, dan janganlah mengunjungi orang-orang pendusta.” Beliau
(Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) meninggal di kota Madinah pada malam Senin,
pertengahan bulan Rajab, tahun 148 H dan disemayamkan di pekuburan Baqi’ di dalam
qubah Al-Abbas, dekat dengan makam ayahnya, kakeknya dan paman kakeknya Hasan
bin Ali. Beliau meninggalkan lima orang putra, yaitu Muhammad, Ismail,
Abdullah, Musa dan Ali Al-’Uraidhi (kakek daripada keluarga Ba’alawy).
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Syarh
Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad
Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]
Dalam Tarekat Naqsyabandiyah
Al-Khalidiyah, Imam Ja’far ash-Shadiq RA berada pada urutan ke-4 silsilah
keguruan. Beliau benar-benar guru spiritual yang mampu menyatukan umat Islam.
Pemimpin umat Islam setelah Nabi
Muhammad SAW berpulang keharibaan Allah SWT, adalah para Khulafa’ur Rasyidin,
berkuasa selama 30 tahun. Diawali saat Sayyidina Abu Bakar RA menjadi khalifah
hingga saat Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA mengakhiri jabatannya pada tahun
662 Masehi. Umat Islam dikala itu berada dalam kepemimpinan yang terbimbing;
mewujudkan intelektualitas, aspek lahiriah, moral, akhlak dan hidup sederhana.
Bagi Khulafa’ur Rasyidin kekuasaan
benar-benar merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Beliau-beliau itu tidak tertarik kemewahan. Mereka berpihak kepada rakyat,
berkomitmen kepada dhuafa, punya kepedulian, punya tanggung jawab, punya kejujuran.
Mereka membangun sebuah sistem ke-khalifahan yang ideal. Ketika sistem
ke-khalifahan jatuh ke tangan Bani Umayyah yang didirikan Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan (661 M) sampai ditumbangkan Abul Abbas as-Saffah dari Bani Abbas (750),
saat itu terjadi pergeseran mentalitas.
Salah satunya Mu’awiyah sendiri
berkantor di bangunan mewah bekas peninggalan Gubernur Jenderal Romawi di
Damaskus. Para khalifah menguasai lahan dan tanah yang luas. Hal ini membuat
mereka bergeser dari akhlak Islam yang sederhana, karimah dan penuh
keteladanan, kepada perilaku yang sebaliknya. Kondisi ini mengundang
keprihatinan sahabat dan tabi’in. Salah satu tabi’in yang vokal adalah Hasan Al
Basri.
Beliau lahir di Madinah sepuluh tahun
setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Beliau mengajak umat untuk kembali kepada
akhlak Nabi, dan menulis surat kepada penguasa untuk mewujudkan hidup yang
sederhana yaitu dengan memakai jubah yang terbuat dari bulu domba (wol) kasar
sebagai simbol kesederhanaan. Tujuannya, menyadarkan pejabat dan rakyat untuk mewujudkan
kembali kesederhanaan
yang diperlihatkan para Khulafa’ur
Rasyidin dan sahabat-sahabat utama. Latar belakang sejarah ini menunjukkan inti
tasawuf sebagai gerakan moral untuk mengembalikan tatanan negara dan umat pada
akhlak yang mulia.
Di periode selanjutnya, di Madinah
terkenal seorang zahid, atau mempunyai sifat zuhud, yang secara harfiah
maknanya meninggalkan kehidupan dunia yang bersifat materi dan menekuni hal-hal
yang bersifat rohani. Seseorang tersebut bernama Imam Ja’far bin Muhammad bin Ali
Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin AbiThalib, dan lebih dikenal dengan nama
Imam Ja’far ash-Shadiq. Ayah Imam Ja’far ash-Shadiq adalah Imam Muhammad Baqir
bin Zainal Abidin bin Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. Ibunya adalah
cucu Sayyidina Abu Bakar Shiddiq RA, Ummu Farwah binti Qasim bin Muhammad bin
Sayyidina Abu Bakar Shiddiq RA.
Imam Ja’far lahir di Madinah pada 17
Rabiul Awal 83 H/702 M dan meninggal dunia pada 148 H/767 M. Ia diberi julukan
ash-Shadiq karena sikap kejujurannya, dan dikenal dengan panggilan Abu Abd
Allah. Ia hidup pada masa akhir Dinasti Umayyah (40-I20 H/66I-737 M) dan awal
Dinasti Abbasiyah (I20-350 H/737-96I M). Keretakan internal Dinasti Umayyah
telah memberikan keleluasaan bagi Imam Ja’far untuk menyebarkan
ajaran-ajarannya.
Imam Ja’far sejak kecil hingga usia
sembilan belas tahun berada dalam didikan ayahnya. Setelah kesyahidan ayahnya
pada 114 H/732 M, Imam Ja’far menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin
spiritual. Masjid Nabawi di Madinah merupakan pusat kegiatan ilmiah Imam
Ja’far. Beliau memusatkan seluruh tenaga dan pikirannya dalam keilmuan dan berhasil
membentuk sebuah ‘hawzah’ pemikiran di masjid tersebut.
Dari aktivitas ilmiah ini telah lahir
fuqaha (para ahli hukum Islam) dan para pemimpin kaliber dunia. Warisan
ilmu pengetahuan yang sangat berharga memberikan peran penting perkembangan
kajian-kajian keilmuan Islam, baik bagi kalangan Sunni maupun Syi’ah. Ekses
kebijaksaan politik yang terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyah menyebabkan terjadinya penyelewengan pada banyak sektor, termasuk
pendidikan akidah pada masyarakat.
Penerjemahan buku-buku berbahasa
Yunani, Persia dan India, serta munculnya aliran-aliran ekstrem dalam Islam,
juga pemalsuan hadits, memberikan kontribusi besar pada berkembangnya kekufuran
dan aliran-aliran sesat. Aliran-aliran inilah yang telah menyiapkan lapangan
bagi tumbuhnya banyak penyelewengan saat itu. Imam Ja’far menyikapi kondisi
tersebut dengan mengadakan dialog terbuka, sehingga alur pemikirannya diketahui
oleh khalayak ramai.
Tujuan utama dakwahnya adalah untuk
menyelamatkan umat manusia dari jurang kebodohan, menguatkan keyakinan mereka
terhadap Islam, mempersiapkan mereka untuk melawan kekufuran dan syubhat yang
menyesatkan dan menangani segala problema yang muncul akibat ulah penguasa
waktu itu. Dalam masalah politik, Imam Ja’far memerintahkan kepada para
pengikutnya untuk tidak berlindung kepada penguasa zalim dan melarang mereka
mengadakan kerjasama dalam bentuk apapun dengannya.
Ia juga mewasiatkan kepada murid-muridnya
untuk melakukan taqiyyah supaya para musuh tidak menyoroti gerak-gerik mereka,
serta tidak menghambat aktivitas keilmuan mereka. Secara terminologi, berbagai
sumber mengartikan taqiyyah sebagai menyembunyikan keimanan karena tidak mampu
menampakkannya di tengahtengah orang kafir dalam rangka menjaga jiwa kehormatan
dan hartanya dari kejahatan mereka.
Selain itu, Imam Ja’far menganjurkan
kepada semua masyarakat untuk mendukung perlawanan yang dipelopori oleh Zayd
ibn Ali melawan Dinasti Bani Umayyah. Ketika berita kematian Zayd ibn Ali
sampai kepadanya, ia sangat terpukul dan sedih. Ia memberikan santunan kepada
setiap keluarga yang suaminya ikut berperang bersama Zayd ibn Ali sebesar
seribu dinar. Begitu juga, ketika pemberontakan Bani al-Hasan mengalami
kekalahan total, ia sangat sedih dan menyayangkan ketidakikutsertaan masyarakat
dalam pemberontakan tersebut.
Meskipun demikian, ia enggan untuk
merebut kekuasaan. Hal ini ditangguhkannya sehingga umat betul-betul siap untuk
mengadakan sebuah perombakan besar-besaran, ia dapat menyetir alur pemikiran
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dan dapat memperbaiki realita
politik dan sosial yang rusak. Intelektual Yang Tersohor Di antara
murid-muridnya yang ternama adalah Hisyam
ibn Hakam, penulis kitab al-Ra’d ala al-Mu’tazilah, Mu’min
al-Taq, penulis kitab al-Imamah, Talhah wa A’isyah, al-Ma’rifah
dan kitab Fi AyyamHarun al-Rasyid, Muhammad
ibn Muslim al-Zuhri, serta Zurarah
ibn A’yan, salah seorang ahli fikih.
Tokoh ternama yang menimba ilmu dari
Imam Ja’far adalah Malik
ibn Anas, Abu Hanifah, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaybani, Sufyan al-Tsawri, Ibn
Uyaynah, Yahya ibn Sa’id, ahli fikih Madinah, Ayyub
al-Sukhtiyani, Syu’bah ibn Hajjaj, dan lain-lain. Imam Abu Hanifah, Imam
Malik dan Yahya al-Ansari meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far. Menurut Fatih
Guven, ‘hawzah’ Imam Ja’far dihadiri ribuan ilmuwan, selain para ahli di atas,
juga Jabir
ibn Hayyan al-Tusi, seorang ahli matematika dan Mu’min al-Taq, seorang ulama yang sangat
disegani.
Gebrakan ilmiah Imam Ja’far telah
berhasil menguasai seluruh penjuru negeri Islam sehingga keluasan ilmunya
dikenal di seluruh penjuru negara dan menjadi buah bibir masyarakat. Bahkan,
salah seorang muridnya mengatakan, “Di masjid ini (masjid Kufah) ada 900 syaikh
mengatakan telah meriwayatkan hadis dari Ja’far ibn Muhammad.” Imam Abu Hanifah
berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih pintar dari Ja’far ibn
Muhammad.” Imam Malik, pemimpin dan imam Mazhab Maliki pernah berkata,
“Beberapa waktu aku selalu pulang pergi ke rumah Ja’far ibn Muhammad, aku
melihatnya selalu mengerjakan salah satu dari tiga hal berikut ini, yaitu (a)
mengerjakan salat, (b) berpuasa atau (c) membaca Al-Qur’an.
Dan aku tidak pernah melihatnya ia
menukil hadis tanpa wudhu’.” Keutamaan dan keagungan Imam Ja’far dikenal luas
khalayak ramai. Abu Musa Jabir ibn Hayyan al-Tusi menulis sebuah buku setebal
seribu halaman yang berisi ajaran-ajaran Imam Ja’far dan memuat lima ratus
pembahasan. Imam Ja’far mendidik murid-muridnya sesuai dengan bakat yang
dimilikinya. Hasilnya, setiap orang dari mereka memiliki spesialisasi dalam
ilmu-ilmu tertentu, seperti hadis, tafsir, fikih, dan kalam.
Beliau wafat di kota Madinah setelah
diracuni oleh Mansur al-Dawaniqi pada 25 Syawal 148 H/767 M, dalam usia 65
tahun. Beliau disemayamkan di pemakaman al-Baqi, yang terletak dekat Masjid
Nabawi di Madinah.
Hakikat Ilmu – Wejangan Spiritual Imam Ja’far as
Shadiq
Ilmu adalah
landasan dari segala hal yang mulia, serta titik tumpu dari setiap maqam
(derajat) spiritual yang tinggi. Oleh karena itulah Rasulullah Sang Nabi SAW bersabda,
“Telah menjadi kewajiban bagi seluruh Muslim,
laki-laki dan perempuan, untuk menuntut ilmu.” Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang menunjang
ketaqwaan serta memperkokoh keyakinan. Imam Ali KW berkata, “Carilah ilmu meskipun engkau harus pergi ke negeri
Cina.” Dan ilmu yang dimaksud
oleh Imam Ali RA adalah ilmu spiritual atau ma’rifat tentang jiwa manusia, yang
didalamnya tersimpan hakikat pengetahuan tentang Tuhan. Sang Nabi suci,
Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa mengenal dirinya, niscaya dia akan
mengenali Tuhannya.” Namun meskipun begitu, kalian semua harus tahu bahwa
sekedar memperoleh pengetahuan saja tanpa ada pengamalan tidaklah dibenarkan,
disamping itu diperlukan keikhlasan dalam mengamalkan ilmu. Sang Nabi suci,
Muhammad SAW dalam munajatnya bersabda, “Yaa Allah, kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang
tidak bermanfaat.” Kita semua berlindung dari ilmu yang tidak disertai pengamalan serta dari
amal yang tidak disertai keikhlasan.
Ketahuilah wahai murid-murid yang aku kasihi, ilmu yang sedikit akan menuntut pengamalan yang banyak, karena ilmu ukhrawi (spiritual) menuntut seseorang untuk beramal sepanjang hidupnya. Nabiyullah Isa AS berkata, “Pada sebuah batu aku lihat ada tulisan yang berbunyi “Balikkanlah aku” maka aku membalikkan batu itu. Dibalik batu tersebut tertulis “Barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmu yang diketahuinya niscaya dia akan menyesal, dan ilmu itu akan berbalik menuntutnya.”
Allah SWT Berfirman kepada Nabi Daud AS, “Balasan yang Aku timpakan kepada orang yang tidak mengamalkan ilmunya adalah lebih berat daripada tujuh puluh siksaan batin, yakni Aku akan mencabut kenikmatan berdzikir dari hatinya.” Ketahuilah, tidak ada jalan menuju Allah kecuali dengan ilmu, dan ilmu adalah perhiasan manusia di alam dunia ini serta kendaraan yang akan membawanya ke surga, kemudian jika seorang manusia memperoleh hakikat ilmu maka Allah Ta’ala akan melimpahkan keridhaan-Nya kepada orang itu.
Orang yang mengetahui hakikat ilmu adalah dia yang amal shalehnya, kesucian munajatnya, kejujurannya, serta ketaqwaannya yang berbicara. Bukan orang yang hanya berbicara melalui mulutnya, pandai berdebat, pintar berdiskusi, atau orang yang mengeluarkan pengakuan-pengakuan. Sebelum masa sekarang ini, para penuntut ilmu adalah mereka yang mempergunakan akal sehatnya, orang-orang yang shaleh, bijaksana, rendah hati, dan senantiasa waspada. Namun yang kita saksikan pada masa sekarang ini, para penuntut ilmu tidaklah memiliki karakter-karakter tersebut.
Ketahuilah wahai murid-murid yang aku kasihi, ilmu yang sedikit akan menuntut pengamalan yang banyak, karena ilmu ukhrawi (spiritual) menuntut seseorang untuk beramal sepanjang hidupnya. Nabiyullah Isa AS berkata, “Pada sebuah batu aku lihat ada tulisan yang berbunyi “Balikkanlah aku” maka aku membalikkan batu itu. Dibalik batu tersebut tertulis “Barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmu yang diketahuinya niscaya dia akan menyesal, dan ilmu itu akan berbalik menuntutnya.”
Allah SWT Berfirman kepada Nabi Daud AS, “Balasan yang Aku timpakan kepada orang yang tidak mengamalkan ilmunya adalah lebih berat daripada tujuh puluh siksaan batin, yakni Aku akan mencabut kenikmatan berdzikir dari hatinya.” Ketahuilah, tidak ada jalan menuju Allah kecuali dengan ilmu, dan ilmu adalah perhiasan manusia di alam dunia ini serta kendaraan yang akan membawanya ke surga, kemudian jika seorang manusia memperoleh hakikat ilmu maka Allah Ta’ala akan melimpahkan keridhaan-Nya kepada orang itu.
Orang yang mengetahui hakikat ilmu adalah dia yang amal shalehnya, kesucian munajatnya, kejujurannya, serta ketaqwaannya yang berbicara. Bukan orang yang hanya berbicara melalui mulutnya, pandai berdebat, pintar berdiskusi, atau orang yang mengeluarkan pengakuan-pengakuan. Sebelum masa sekarang ini, para penuntut ilmu adalah mereka yang mempergunakan akal sehatnya, orang-orang yang shaleh, bijaksana, rendah hati, dan senantiasa waspada. Namun yang kita saksikan pada masa sekarang ini, para penuntut ilmu tidaklah memiliki karakter-karakter tersebut.
Orang yang
berilmu membutuhkan kecerdasan, keramahan, kesetiaan, kefasihan, kasih sayang,
kesabaran, kesederhanaan, serta totalitas. Sementara itu orang yang belajar
membutuhkan hasrat yang tulus terhadap ilmu, cita-cita yang luhur, pengorbanan
(waktu, biaya dan energi) keshalehan, kewaspadaan, daya ingat, dan keteguhan
hati.
(Diambil dari
kitab “Shahifah as Shadiqiyyah” Imam
Ja’far as Shadiq)
Nasihat Spiritual Imam Ja’far as Shadiq
Disarikan dari
kitab “Shahifah as Shadiqiyyah”
Ketahuilah,
tidak ada rangkaian berkah dan manfaat yang lebih menguntungkan dibandingkan
dengan rangkaian berkah dan manfaat yang akan tercurah kepada hamba yang
menundukkan pandangannya. Hal ini terjadi jika sang hamba memelihara agar
pandangannya tidak tertuju kepada sesuatu yang diharamkan serta tidak disukai
Allah, kecuali jika tajalli keagungan dan keindahan telah bersemayam dihati
hamba. (Maksud Imam adalah jika seorang hamba yang hatinya telah dirahmati oleh
Allah, maka meskipun pandangannya tertuju kepada hal-hal yang tidak baik
niscaya hal itu tidak akan mempengaruhi kondisi batin sang hamba. Atau hamba
itu melihat sesuatu yang haram dengan tujuan untuk memperbaikinya. Misalnya
saja jika seorang hamba melihat perempuan yang membuka auratnya, namun hamba
itu tidak tergoda malahan memberikan nasihat kepada si perempuan itu yang
dengan rahmat Allah perempuan itu akan menjadi sadar)
Pemimpin kaum
beriman, Imam Ali bin Abi Thalib KW pernah ditanya apakah hal yang dapat
membantu kita memelihara pandangan, kemudian beliau berkata “Memohon
bantuan sambil menghinakan diri ke haribaan Dia Yang mengetahui segala
rahasiamu yang baik maupun yang buruk, serta senantiasa mengawasimu.” Ketahuilah,
sesungguhnya mata adalah pengawas hati dan utusan akal, oleh karena itu
peliharalah pandanganmu dari segala sesuatu yang dapat mempengaruhi keimananmu,
segala sesuatu yang tidak disukai hatimu karena dapat merusaknya (hati), serta
hal yang ditolak oleh akal karena dapat mengganggu.
Sang Nabi SAW
bersabda, “Tundukkan (pelihara) pandanganmu, niscaya engkau akan
menyaksikan keajaiban-keajaiban spiritual.”
Allah Ta’ala Berfirman :
Allah Ta’ala Berfirman :
“Katakanlah kepada
laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya.”
(Qur’an surah an Nur ayat 30)
(Qur’an surah an Nur ayat 30)
Nabiyullah ‘Isa AS berkata kepada para pengikutnya, “Berhati-hatilah kalian dari memandang hal-hal yang
dilarang, karena hal itu adalah benih-benih syahwat dan dapat menumbuhkan pohon
kefasikan.”
Nabiyullah Yahya AS berkata, “Lebih baik aku
mati daripada terlena dalam menyaksikan hal-hal yang buruk.”
Sahabat Abdullah bin Mas’ud pernah berkata kepada seseorang yang matanya
terbelalak ketika menjenguk seorang perempuan yang sedang sakit, “Lebih baik
engkau kehilangan matamu daripada melihat seorang perempuan sakit dengan penuh
syahwat.”
Setiap kali
seseorang memandang hal-hal yang dilarang, maka pada saat itu hasrat buruk
terikat dihati dan mengotorinya. Ikatan itu hanya bisa diputuskan oleh dua
sebab, yang pertama adalah tangis penyesalan dan bertaubat dengan
sungguh-sungguh, atau yang kedua adalah menyadari kesalahan perbuatannya dan
menebusnya dengan amal baik. Dan jika orang itu tidak sungguh-sungguh menyadari
dan menebus perbuatan buruknya, maka tempat kembalinya adalah neraka. Sedangkan
bagi mereka yang bertaubat dengan sungguh-sungguh maka balasannya adalah
dimasukkan kedalam taman kebahagiaan, di tempat yang diridhai oleh Allah SWT.
“>Nasihat Spiritual Imam Ja’far as Shadiq
Barangsiapa yang menjaga hatinya dari kelalaian dalam berdzikir, melindungi
dirinya dari jerat syahwat, serta menjaga akalnya dari penyimpangan, dia akan
dikelompokkan kedalam golongan mereka yang hidup hatinya. Kemudian bagi mereka
yang menjaga diri dari memanfaatkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk
kepentingan pribadi, yang memelihara keimanannya dari bid’ah-bid’ah yang
merusak, serta memelihara hartanya dari sesuatu yang haram, maka dirinya akan
dikelompokkan kedalam golongan orang-orang yang shaleh.
Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap laki-laki dan
perempuan yang beriman.” Ketahuilah bahwa ilmu yang dimaksud dalam hadits itu
yang paling utama adalah ma’rifat an nafs (ilmu pengetahuan tentang hakikat
diri manusia), ilmu yang membawa manusia agar dapat bersyukur kepada Allah
Ta’ala. Oleh karena itu sangatlah penting bagi semua manusia, agar dalam setiap
kondisi hidupnya senantiasa memanjatkan puji syukur ke Hadhirat Ilahi dan
memohon ampunan dari kelalaiannya dalam bersyukur.
Dan ketahuilah
jika Allah menerima syukur seorang hamba maka itu berarti Dia berkenan
melimpahkan karunia-Nya kepada sang hamba. Namun jika syukur seorang hamba
ditolak, maka hal itu berarti Allah berkehendak untuk menampakkan sifat Maha
Adil (agar sang hamba berusaha lebih keras lagi untuk dapat bersyukur). Setiap
orang harus menyadari pentingnya bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah
dan mengungkapkan rasa syukur, serta bersungguh-sungguh dalam menjaga diri dari
melakukan dosa, serta menjauhi penyebab-penyebab kemaksiatan.
Untuk mencapai
kondisi seperti itu, dasarnya adalah engkau harus menyadari kemudian mengungkapkan
kebutuhan serta kebergantunganmu secara total kepada Allah Ta’ala, bahwa engkau
membutuhkan perhatian Allah, dan bahwa ketaatan kepada Allah adalah
kebutuhanmu.
Dan kunci dari semuanya itu adalah pemasrahan dirimu kepada Allah, menghapuskan angan-angan dan khayalanmu dengan banyak mengingat kematian, serta menumbuhkan kesadaran bahwa dalam setiap saat sesungguhnya engkau sedang berdiri dihadapan Yang Maha Perkasa. Dengan melakukan hal ini engkau akan terbebaskan dari jerat-jerat syahwatmu, engkau akan terselamatkan dari musuh-musuhmu, dan jiwamu akan dianugerahi kedamaian. Hakikat dari ketulusan dalam beribadah adalah suatu harmoni yang selaras (antara hati, ucapan, dan perilaku), dan tangga menuju kemerdekaan spiritual adalah engkau mensikapi hidupmu seakan-akan ini adalah hari terakhir yang engkau jalani.
Dan kunci dari semuanya itu adalah pemasrahan dirimu kepada Allah, menghapuskan angan-angan dan khayalanmu dengan banyak mengingat kematian, serta menumbuhkan kesadaran bahwa dalam setiap saat sesungguhnya engkau sedang berdiri dihadapan Yang Maha Perkasa. Dengan melakukan hal ini engkau akan terbebaskan dari jerat-jerat syahwatmu, engkau akan terselamatkan dari musuh-musuhmu, dan jiwamu akan dianugerahi kedamaian. Hakikat dari ketulusan dalam beribadah adalah suatu harmoni yang selaras (antara hati, ucapan, dan perilaku), dan tangga menuju kemerdekaan spiritual adalah engkau mensikapi hidupmu seakan-akan ini adalah hari terakhir yang engkau jalani.
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah sesaat.
Maka jalanilah hidupmu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Gerbang kepada
kebebasan spiritual ini adalah senantiasa berkhalwat menjauhkan diri dari
keduniawian, serta bertafakur secara terus-menerus melakukan perenungan
mengenai kesementaraan dunia ini. Adapun inti dari khalwat adalah merasa cukup
dengan apa yang telah engkau terima, dan meninggalkan hal-hal yang tidak
memiliki manfaat bagi jiwamu. Sedangkan hakikat dari tafakur adalah
mengosongkan diri dari hasrat dan keinginan rendahmu, yang merupakan tiang dari
kezuhudan. Sempurnanya zuhud adalah ketaqwaan, dan gerbang dari ketaqwaan
adalah rasa takut kepada Allah, yang dibuktikan dengan banyak mengagungkan
Allah Ta’ala, istiqamah menaati-Nya dengan tulus, serta merasa takut dan
waspada agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang.
Ketahuilah
semua maqam spiritual ini hanya dapat dilalui jika dirimu dibimbing oleh ilmu
(memiliki seorang pembimbing spiritual), Allah Yang Maha Besar Berfirman,
“Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah mereka yang
berilmu.”
(Qur’an surah Fathir ayat 28)
(Qur’an surah Fathir ayat 28)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar