Sa'ad bin Abi Waqqas RA
Malam telah larut,
ketika seorang pemuda bernama Sa’ad bin Abi Waqqash terbangun dari
tidurnya. Baru saja ia bermimpi yang sangat mencemaskan. Ia merasa terbenam
dalam kegelapan, kerongkongannya terasa sesak, nafasnya terengah-engah,
keringatnya bercucuran, keadaan sekelilingnya gelap-gulita. Dalam keadaan yang
demikian dahsyat itu, tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya dari langit yang
terang-benderang. Maka dalam sekejap, berubahlah dunia yang gelap-gulita
menjadi terang benderang dengan cahaya tadi. Cahaya itu menyinari seluruh rumah
penjuru bumi. Bersaman dengan sinar yang cemerlang itu, Sa’ad bin Abi Waqqash
melihat tiga orang lelaki, yang setelah diamati tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib r.a., Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Zaid bin Haritsh. Sejak ia bermimpi yang demikian itu,
mata Sa'ad bin Abi Waqqash tidak mau terpejam lagi. Kini Sa’ad bin Abi Waqqash
duduk merenung untuk memikirkan arti mimpi yang baginya sangat aneh. Sampai
sinar matahari mulai meninggi, rahasia mimpi yang aneh tersebut masih belum
terjawab. Hatinya kini bertanya-tanya, berita apakah gerangan yang hendak saya
peroleh.
Seperti biasa, di waktu pagi, Sa’ad dan
ibunya selalu makan bersama-sama. Dalam menghadapi hidangan pagi ini, Sa’ad
lebih banyak berdiam diri. Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan
taat kepada ibunya. Namun, mimpi semalam dirahasiakannya, tidak diceritakan
kepada ibu yang sangat dicintai dan dihormatinya. Sedemikian dalam sayangnya
Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cinta Sa’ad hanya untuk ibunya yang
telah memelihara dirinya sejak kecil hingga dewasa dengan penuh kelembutan dan
berbagai pengorbanan. Pekerjan Sa’ad adalah membuat tombak dan lembing yang
diruncingkan untuk dijual kepada pemuda-pemuda Makkah yang senang berburu,
meskipun ibunya terkadang melarangnya melakukan usaha ini. Ibu Sa’ad yang
bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan
Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga
seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah
sangat setia kepada agama nenek moyangnya, yaitu penyembah berhala.
Pada suatu hari tabir mimpi Sa'ad mulai
terbuka, ketika Abu Bakar mendatangi Sa'ad di tempat pekerjaannya dengan
membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad Saw, sebagai Rasul Allah.
Ketika Sa’ad bertanya, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad
Saw, dijawab oleh Abu Bakar : dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib r.a., dan
Zaid bin Haritsh. Muhammad Saw, mengajak manusia menyembah Allah Yang Esa,
Pencipta langit dan bumi. Seruan ini telah mengetuk pintu hati Sa’ad untuk
menemui Rasul Allah Saw, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalbu Sa'ad
telah disinari cahaya iman, meskipun usianya waktu itu baru menginjak tujuh
belas tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam
selain Ali bin Abi Thalib kw., Abu Bakar r.a. dan Zaid bin Haritsh. Cahaya agama Allah
yang memancar ke dalam kalbu Sa’ad, sudah demikian kuat, meskipun ia mengalami
ujian yang tidak ringan dalam memeluk agama Allah ini. Diantara ujian yang
dirasa paling berat adalah, karena ibunya yang paling dikasihi dan disayanginya
itu tidak rela ketika mengetahui Sa’ad memeluk Islam. Sejak memeluk Islam,
Sa'ad telah melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi di kamarnya. Sampai
pada suatu saat, ketika ia sedang bersujud kepada Allah, secara tidak sengaja,
ibu yang belum mendapat hidayah dari Allah ini melihatnya. Dengan nada sedikit
marah, Hamnah bertanya : "Sa'ad, apakah yang sedang kau lakukan ?"
Rupanya Sa’ad sedang berdialog dengan Tuhannya; ia tampak tenang dan khusyu'
sekali. Setelah selesai menunaikan Shalat, ia berbalik menghadap ibunya seraya
berkata lembut. "Ibuku sayang, anakmu tadi
bersujud kepada Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya. Mendengar jawaban anaknya, sang ibu mulai naik darah dan berkata : "Rupanya
engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita, Tuhan Lata, Manata dan Uzza.
Ibu tidak rela wahai anakku. Tinggalkanlah agama itu dan kembalilah kepada
agama nenek moyang kita yang telah sekian lama kita anut". "Wahai ibu, aku tidak dapat lagi menyekutukan
Allah, Dia-lah Dzat Yang Tunggal, tiada yang setara dengan Dia, dan Muhammad
adalah utusan Allah untuk seluruh umat manusia," jawab Sa'ad.
Kemarahan ibunya semakin menjadi-jadi,
karena Sa’ad tetap bersikap keras dengan keyakinannya yang baru ini. Oleh
karena itu, Hamnah berjanji tak akan makan dan minum sampai Sa’ad kembali taat
memeluk agamanya semula. Sehari telah berlalu, ibu ini tetap tidak mau makan
dan minum. Hati Sa’ad merintih melihat ibunya, tetapi keyakinanya terlalu mahal
untuk dikorbankan. Sa'ad datang membujuk ibunya dengan mengajaknya makan dan
minum bersama, tapi ibunya menolak dengan harapan agar Sa’ad kembali kepada
agama nenek moyangnya. Kini Sa’ad makan sendirian tanpa ditemani ibunya. Hari
kedua pun telah berlalu, ibunya tampak letih, wajahnya pucat-pasi dan matanya
cekung, ia kelihatan lemah sekali. Tidak ada sedikitpun makanan dan minuman
yang dijamahnya. Sa’ad sebagai seorang anak yang mencintai ibunya bertambah
sedih dan terharu sekali melihat keadaan Hamnah yang demikian. Malam
berikutnya, Sa’ad kembali membujuk ibunya,agar mau makan dan minum. Namun
ibunya adalah seorang wanita yang berpendirian keras, ia tetap menolak ajakan
Sa’ad untuk makan, bahkan ia kembali merayu Sa’ad agar menuruti perintahnya
semula. Tetapi Sa’ad tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual agama dan
keimanannya kepada Allah dengan sesuatupun, sekalipun dengan nyawa ibu yang
dicintainya. Imannya telah membara, cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah
sedemikian dalam. Di depan matanya ia menyaksikan keadaan ibunya yang
meluluhkan hatinya, namun dari lidahnya keluar kata-kata pasti yang
membingungkan lbunya; Demi Allah, ketahuilah wahai
ibunda sayang, seandainya ibunda memiliki seratus nyawa lalu ia keluar satu
persatu, tidaklah nanda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa
pun juga. Maka sekarang, terserah kepada ibunda, apakah ibunda akan makan atau
tidak". Kata kepastian yang diucapkan anaknya dengan tegas membuat ibu Sa’ad bin
Abi Waqqash tertegun sesaat. Akhirnya ia mulai mengerti dan sadar, bahwa
anaknya telah memegang teguh keyakinannya. Untuk menghormati ibunya, Sa’ad
kembali mengajaknya untuk makan dengannya, karena ibu ini telah merasakan
kelaparan yang amat sangat dan ia telah memaklumi pula bahwa anak yang
dicintainya tidak akan mundur setapakpun dari agama yang dianutnya, maka ibu
Sa’ad mundur dari pendiriannya dan memenuhi ajakan anaknya untuk makan bersama.
Alangkah gembiranya hati Sa’ad bin Abi Waqqash. Ujian iman ternyata dapat
diatasinya dengan ketabahan dan memohon pertolongan Allah.
Keesokan paginya, Sa’ad pergi menuju ke
rumah Nabi Saw. Sewaktu ia berada di tengah majlis Nabi Saw, turunlah firman
Allah yang menyokong pendirian Sa’ad bin Abi Wadqash: “Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat
baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada kedua ibu-bapakmu; hanya kepada-Ku-lah tempat kamu kembali. Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaulah dengan keduanya
didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku,
kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu. Maka Kuberitahukan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan". (Q.S. Luqman: 14-15)
Demikianlah, keimanan Sa’ad bin Abi
Waqqash kepada Allah dan Rasul-Nya telah mendapat keridhaan Ilahi. Al-Qur’an
telah mengabadikan peristiwa itu menjadi pedoman buat kaum Muslimin. Terkadang
Sa’ad mencucurkan air matanya apabila ia sedang berada di dekat Nabi Saw. Ia
adalah seorang sahabat Rasul Allah Saw, yang diterima amal ibadahnya dan diberi
nikmat dengan doa Rasul Allah Saw, agar doanya kepada Allah dikabulkan. Apabila
Sa'ad bermohon diberi kemenangan oleh Allah pastilah Allah akan mengabulkan
doanya.
Pada
suatu hari, ketika Rasulullah Saw, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba
beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasul
kembali menatap kepada sahabatnya dengan berkata : "Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang
laki-laki dari penduduk surga". Mendengar ucapan Rasul Allah Saw, para sahabat
menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan
lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga. Tidak lama berselang datanglah
laki-laki yang ditunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash. Disamping terkenal
sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Sa’ad bin Abi Waqash juga terkenal
karena keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting
yang dikenal orang tentang kesatriaannya.
1)Sa’ad adalah orang yang pertama
melepaskan anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula
terkena anak panah.
2) Sa’ad adalah satu-satunya orang yang
dijamin oleh Rasul Saw dengan jaminan kedua orang tua Nabi Saw. Bersabda Nabi
Saw, dalam perang Uhud :”Panahlah hai Sa’ad ! Ayah-Ibuku menjadi jaminan
bagimu”.
Sa’ad bin Abi Waqqash, hampir selalu
menyertai Nabi Saw dalam setiap pertempuran. Sejarah mencatat, hari-hari
terakhir Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash ialah ketika ia memasuki usia delapan
puluh tahun. Dalam keadaan sakit Sa’ad bin Abi Waqqash berpesan kepada para sahabatnya,
agar ia dikafani dengan Jubah yang digunakannya dalam perang Badr, sebagai
perang kemenangan pertama untuk kaum muslimin. Pahlawan perkasa ini telah
menghembuskan nafas yang terakhir dengan meningalkan kenangan indah dan nama
yang harum. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para Syuhada.
Kisah 1
Jabir r.a. menceritakan bahwa
penduduk Kufah mengadukan Sa'ad bin Abi Waqash kepada Khalifah `Umar. 'Umar
lalu mengutus seseorang untuk bertanya tentang Sa'ad kepada orang-orang Kufah.
Utusan itu berkeliling dari masjid ke masjid di Kufah dan semua orang yang
ditanyainya memberikan penilaian positif terhadap Sa'ad. Akhirnya ia berhenti
di sebuah masjid dan bertemu dengan seorang laki-laki yang mengaku bernama Abu
Sa'dah. Laki-laki itu berkata, "Kami mengadukan Sa'ad karena ia tidak
membagi rampasan secara sama rata, tidak berjalan bersama pasukannya,dan tidak
berlaku adil dalam menghukumi sesuatu." Maka Sa'ad berdoa, "Ya Allah,
kalau ia berdusta, maka panjangkanlah umurnya, panjangkan kefakirannya, dan
timpakan berbagai fitnah padanya."
Ibnu Amir menceritakan bahwa ia
menyaksikan laki-laki yang mengadukan Sa'ad itu berumur panjang, sampai-sampai
alisnya menutupi mata karena saking panjangnya, ia betul-betul ditimpa
kemiskinan, dan di sebuah jalan ia pernah bertemu dengan budak-budak perempuan
kemudian merabanya, karena itu ia terkena fitnah. Sewaktu ditanya, "Mengapa
kamu bisa jadi begini?" Jawabnya, "Aku menjadi tua bangka dan
terkena fitnah karena doa Sa'ad." (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Al-Baihaqi
dari jalur Abdul Mulk bin Amir)
Dalam
riwayat lain dikisahkan bahwa Sa'ad tengah berpidato di hadapan penduduk Kufah,
ia bertanya, "Bagaimana kepemimpinanku menurut pandangan kalian?" Seorang laki-laki berseru, "Engkau sungguh
tidak adil dalam mengemban tanggung jawab, tidak membagi secara rata, dan tidak
ikut berperang bersama pasukan." Sa'ad berdoa, "Ya
Allah, kalau ia berdusta, maka butakanlah matanya, segerakan kefakirannya,
panjangkan umumya, dan timpakan fitnah padanya." Lelaki itu kemudian buta, jatuh miskin sehingga
menjadi peminta-peminta, difitnah sebagai orang yang sombong dan pembohong, dan
karena itu ia dibunuh. (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari jalur Mush'ab bin Sa'ad)
Riwayat
lain menceritakan bahwa ada seorang laki-laki muslim mengejek Sa'ad bin Abi
Waqash. Kemudian Sa'ad berdoa, "Ya Allah, potonglah lidah dan
tangannya dengan kehendak-Mu."
Pada waktu perang Kadisiyah, laki-laki itu terlempar hingga lidah dan tangannya
putus. Ia tidak bisa berbicara sepatah kata pun sampai ajal menjemputnya.
(Diriwayatkan oleh Al Thabrani, Ibnu `Asakir dan Abu Na'im dari Qabishah bin Jabir)
Dikisahkan
pula bahwa ada seorang perempuan yang mempunyai perawakan seperti anak kecil.
Orang-orang mengolok-oloknya, "Itu puteri Sa'ad, ia membenamkan tangannya
pada tempat bersuci Sa'ad." Kemudian Sa'ad berdoa, "Semoga
Allah menunjukkan kekuatanmu meskipun engkau tidak bisa tumbuh besar
lagi." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya
dan Ibnu Asakir dari Mughirah)
Dalam
riwayat lain diceritakan bahwa ada seorang perempuan terus menerus
memperhatikan Sa`ad, Sa'ad menegurnya, tetapi ia tidak mengindahkannya. Suatu
hari ketika perempuan itu muncul, Sa'ad berkata, "Buruk
sekali wajahmu." Tiba-tiba wajah pcrempuan itu memuntir ke
belakang dan tidak bisa menoleh ke depan. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Asakir dari Mana' dari Abdurrahman bin Auf)
Qais bertutur, "Ada seorang laki-laki mengejek Ali.
Maka Sa'ad berdoa, 'Ya Allah, laki-laki ini telah mengejek salah seorang walimu. Jangan
pisahkan golongan ini, sampai Engkau perlihatkan kekuasaanMu.' Demi Allah, kami belum berpisah, hingga kudanya
terbenam ke dalam lumpur, kemudian ia terlempar di bebatuan, sampai otaknya
keluar dan akhirnya mati" (Riwayat Al- Hakim).
Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa Sa'ad mendoakan buruk untuk seorang laki-laki.
Tiba-tiba laki-laki itu tertubruk seekor unta betina hingga ia mati. Kemudian
Sa'ad menahan nafas dan bersumpah tidak akan mendoakan buruk untuk seorang pun
(Riwayat Al-Hakim dari Mush'ab bin Sa'ad).
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Al-Musayyab bahwasanya Marwan pernah
berkata, "Harta ini milik kami maka kami berhak memberikannya kepada
orang yang kami kehendaki." Kemudian Sa`ad mengangkat kedua tangannya
dan berkata, 'Aku akan berdoa." Marwan meloncat, lalu
merangkulnya sambil berseru, "Engkau akan berdoa kepada Allah, hai Abu
Ishaq. Tolong jangan berdoa, karena harta itu adalah milik Allah."
Diceritakan
pula bahwa Sa'ad bin Abi Waqash pernah berdoa, "Ya Allah, hamba memiliki
anak-anak yang masih kecil, maka tangguhkan kematianku sampai mereka dewasa
(balig)." Dua puluh tahun kemudian, Sa'ad baru
menemui ajalnya, sesudah menderita sakit parah. (Riwayat Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dari Yahya bin Abdurrahman bin Labibah)
Dikisahkan
juga bahwa ketika Sa'ad sedang berjalan-jalan, lewatlah seorang laki-laki
sambil mencaci maki Ali, Thalhah, dan Zubair. Sa'ad berkata kepada laki-laki
itu, "Kamu mencaci-maki para pemimpin yang dianugerahi keunggulan oleh
Allah. Demi Allah, kamu harus menghentikan cacianmu kepada mereka atau aku akan
mendoakan keburukan untukmu."
Laki-laki itu menjawab, "Kamu menakutiku, seolah-olah kamu ini
nabi." Sa'ad lalu berdoa, "Ya Allah, ia telah
mencaci-maki para pemimpin yang telah Engkau unggulkan, maka timpakan
malapetaka padanya hari ini."
Tiba-tiba datanglah seorang peramal perempuan sehingga orang-orang berlarian
menghindarinya, lalu sang peramal memukul laki-laki itu dengan keras.
Orang-orang mengikuti Sa'ad, dan berkata, 'Allah telah mengabulkan doamu, ya
Abu Ishaq." Doa Sa'ad mustajab, karena Nabi Saw telah mendoakan agar
doanya mustajab. (Riwayat Al Thabrani dari Amir bin Sa'ad)
Al-Tirmidzi dan Al-Hakim meriwayatkan dan
menyatakan kesahihan hadis Nabi tentang Sa'ad, "Ya Allah, kabulkanlah semua doa yang dipanjatkan
Sa'ad!" Hingga setiap doa yang
dilantunkan Sa'ad selalu dikabulkan Allah. Dalam hadis lain juga dinyatakan, "Ya Allah, kabulkanlah doa Sa'ad dan tepatkanlah
lemparan panahnya!"
Kisah 2
Riwayat
lain menceritakan bahwa ketika Sa'ad bin Abi Waqash r.a. sampai di sungai Tigris,
ia mencari perahu untuk menyeberang, tetapi ia tidak berhasil karena
perahu-perahu telah ditambatkan. Sa'ad dan pasukannya tinggal di sana beberapa
hari pada bulan Safar. Tiba-tiba datang air pasang. Sa'ad bermimpi melihat
sekawanan kuda milik pasukan muslimin menceburkan diri ke sungai, lalu
menyeberangi air pasang itu, padahal air pasang sungai Tigris sangat tinggi.
Sa'ad menakwilkan mimpinya sebagai petunjuk agar ia menyeberangi sungai itu.
Maka ia mengumpulkan pasukannya, lalu berkata, 'Aku akan
menyeberangi sungai ini," dan
mereka menyetujuinya. Sa`ad mempersilakan pasukannya untuk menceburkan diri ke
sungai, lalu berkata, "Katakanlah! Kami memohon pertolongan Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Cukuplah Allah bagi kami, sebaik-baik Zat tempat
memasrahkan diri. Tiada daya dan kekuatan, kecuali milik Allah Yang Maha Tinggi
lagi Maha Agung." Lalu mereka menceburkan
diri ke Sungai Tigris, menyeberangi air yang pasang itu, dan terombang-ambing
ombak. Sungguh ajaib, mereka terapung di sungai itu sambil berbincang-bincang
dan berpasangan, seperti ketika berjalan di daratan. Orang-orang Persia merasa
heran dengan hal yang tidak masuk akal tersebut. Pasukan muslimin kemudian
menaklukkan Persia dan segera mengumpulkan sebagian besar kekayaan mereka,
yaitu kota-kota di Persia. Pada bulan Safar tahun 16 H, kaum muslimin menguasai
rumah-rumah peninggalan kerajaan Persia. (Riwayat Abu Na'im dari Ibnu al-Dafili)
Dalam
riwayat lain diceritakan bahwa Sa'ad berkata, "Kami menyeberangi sungai
Tigris sambil membawa kuda dan binatang piaraan kami, sampai tak seorang pun
melihat air dari dua tepinya. Kuda-kuda itu mendatangi pasukanku sambil
menghela surainya diiringi ringkikan. Ketika melihat tingkah kuda tersebut,
pasukanku segera menyeberangi sungai itu tanpa memedulikan apa pun. Tidak ada
sesuatu pun milik pasukanku yang hilang dalam air, hanya sebuah gelas yang
pegangannya telah pecah. Gelas itu terjatuh dan hanyut terbawa air. Namun angin
dan gelombang menyeretnya ke tepi dan pemiliknya mengambilnya kembali." (Abu Na'im meriwayatkan kisah ini
dari Abu `Utsman al-Nahdi)
Riwayat
lain menyebutkan bahwa orang yang berjalan di atas air bersama Sa'ad adalah
Salman al-Farisi. Pasukan Sa'ad menyeberangi sungai Tigris sambil terapung
beserta kuda-kuda mereka. Sa'ad berkata, "Cukuplah Allah bagi kami,
Dialah sebaik-baik Zat tempat memasrahkan diri. Demi Allah, Allah benar-benar
akan menolong wali-Nya, memenangkan agama-Nya, dan mengalahkan musuh-Nya, jika
dalam diri pasukan tidak ada kejahatan atau dosa yang mengalahkan
kebaikan." Salman berkata kepada Sa'ad, "Sesungguhnya
Islam itu baru. Demi Allah, lautan tunduk kepada Sa'ad dan pasukannya seperti
halnya daratan tunduk kepada mereka. Mereka menyeberangi sungai, hingga air itu
tidak terlihat dari tepian. Sambil terapung di sungai, mereka
berbincang-bincang lebih banyak daripada ketika mereka berjalan di daratan.
Mereka berhasil melintasinya, tidak ada sesuatu pun yang hilang, dan tidak ada
seorang pun yang tenggelam." (Diriwayatkan oleh Abu Na'im dari Abu Bakar bin Hafsh bin `Umar)
Riwayat
lain menceritakan bahwa Sa'ad dan pasukannya menceburkan diri ke sungai Tigris
berpasang-pasangan. Salman menjadi pasangan Sa'ad, mereka berdampingan berjalan
di atas air. Sa'ad berkata, "Demikianlah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana." Air sungai Tigris
mengapungkan Sa'ad dan pasukannya, sementara kuda mereka menyeberangi sungai
sambil berdiri tegak. Bila Sa'ad lelah, di depannya terhampar sebuah gundukan,
lalu ia beristirahat di atasnya seolah-olah berada di atas tanah. Tidak ada
pemandangan yang lebih menakjubkan selain pemandangan itu, karena itulah hari
itu disebut dengan Yaumul Jaratsim. Jika ada yang lelah, maka di
depannya terhampar sebuah gundukan tempat untuk istirahat. (Riwayat Abu Na'im dari Amir al-Sha'idi)
Qais bin Abi Hazim berkata, "Kami menundukkan sungai Tigris yang
sedang meluap airnya. Meskipun air pasang mencapai puncak ketinggiannya,
prajurit berkuda tetap tegak dan air tidak sampai menyentuh ikat perut
kudanya," (Riwayat Abu Na'im).
Dalam
riwayat lain diceritakan bahwa ketika kaum muslimin menyeberangi sungai Tigris,
penduduk Persia berkata, "Mereka itu jin, bukan manusia," (Riwayat
Abu Na'im dari Habib bin Shahban, dikutip dari kitab Hujjatullah 'ala al-'Alaamin).
Hamzah bin AbdulMutthalib
Thabarani telah mengeluarkan dari Al-Harits At-Taimi dia berkata: Adalah Hamzah bin Abdul Mutthalib ra. pada hari pertempuran di Badar membuat tanda dengan bulu burung Na’amah (Bangau).
Sesudah selesai peperangan, maka seorang dari kaum Musyrikin bertanya: Siapa
orang yang bertanda dengan bulu burung Na’amah itu? Maka orang berkata: Dialah
Hamzah bin Abdul Mutthalib. Sambut orang itu lagi: Dialah orang yang banyak
memalu kita di dalam peperangan itu.
(Majma’uz Zawa’id 6:81)
(Majma’uz Zawa’id 6:81)
Bazzar mengeluarkan dari Abdul Rahman bin Auf ra. dia berkata: Bertanya Umaiyah bin Khalaf kepadanya: Hai Abdullah!
Siapa orang yang memakai bulu burung Na’amah di dadanya pada perang Badar itu?
jawabku: Dia itu paman Muhammad, dialah Hamzah bin Abdul Mutthalib ra. Berkata lagi Umaiyah bin Khalaf: Dialah orang yang banyak memalu kita
dengan senjatanya sehingga dia dapat membunuh ramai di antara kita. (Majma’uz
Zawa’id 6:81)
Hakim telah mengeluarkan dari Sabir bin Abdullah ra. dia berkata: Rasulullah SAW mencari-cari Hamzah pada hari Ubud setelah
selesai peperangan, dan setelah semua orang berkumpul di sisinya: Di mana
Hamzah? Maka salah seorang di situ menjawab: Tadi, saya lihat dia berperang di
bawah pohon di sana, dia terus menerus mengatakan: Aku singa Allah, dan singa
RasulNya! Ya Allah, ya Tuhanku! Aku mencuci tanganku dari apa yang dibawa oleh
mereka itu, yakni Abu Sufyan bin Harb dan tentera Quraisy. Dan aku memohon uzur
kepadamu dari apa yang dibuat oleh mereka itu dan kekalahan mereka, yakni
tentera Islam yang melarikan diri! Lalu Rasulullah SAW pun menuju ke tempat
itu, dan didapati Hamzah telah gugur. Bila Beliau melihat dahinya, Beliau
menangis, dan bila melihat mayatnya dicincang-cincang, Beliau menarik nafas
panjang. Kemudian Beliau berkata: Tidak ada kain kafan buatnya?! Maka segeralah seorang dari kaum
Anshar membawakan kain kafan untuknya. Berkata Jabir seterusnya, bahwa
Rasulullah SAW telah berkata: Hamzah adalah penghulu semua orang syahid nanti di
sisi Allah pada hari kiamat.
(Hakim 3:199)
(Hakim 3:199)
Cerita Wahsyi ra.
Ibnu Ishak telah
mengeluarkan dari Ja’far bin Amru bin Umaiyah Adh-Dhamri, dia berkata: Aku keluar bersama Abdullah bin Adiy bin Al-Khiyar pada
zaman Mu’awiyah ra… dan disebutkan ceritanya hingga kami duduk bersama Wahsyi
(pembunuh Hamzah ra.), maka kami berkata kepadanya: Kami datang ini untuk
mendengar sendiri darimu, bagaimana engkau membunuh Hamzah ra. Wahsyi
bercerita: Aku akan memberitahu kamu berdua, sebagai mana aku sudah memberitahu
dahulu kepada Rasulullah SAW ketika Beliau bertanya ceritanya dariku.
Pada mulanya, aku ini adalah hamba kepada Jubair bin Muth’im, dan pamannya
yang bernama Thu’aimah bin Adiy telah mati terbunuh di perang Badar. Apabila
kaum Quraisy keluar untuk berperang di Uhud, Jubair berkata kepadaku: Jika
engkau dapat membunuh Hamzah, paman Muhammad untuk menuntut balas kematian
pamanku di Badar, engkau akan aku merdekakan. Bila tentera Quraisy keluar ke
medan Uhud, aku turut keluar bersama mereka. Aku seorang Habsyi yang memang
mahir untuk melempar pisau bengkok, dan sebagaimana biasanya orang Habsyi,
jarang-jarang tidak mengenai sasaran apabila melempar. Apabila kedua belah
pihak bertempur di medan Uhud itu, aku keluar mencari-cari Hamzah untuk
kujadikan sasaranku, sehingga aku melihatnya di antara orang yang bertarung,
seolah-olahnya dia unta yang mengamuk, terus memukul dengan pedangnya segala
apa yang datang menyerangnya, tiada seorang pun yang dapat melawannya. Aku pun
bersiap untuk menjadikannya sasaranku. Aku lalu bersembunyi di balik batu berdekatan
dengan pohon yang dia sedang bertarung, sehingga apabila dia datang berdekatan
denganku, mudahlahlah aku melemparkan pisau racunku itu.
Tatkala dia dalam keadaan begitu, tiba-tiba datang menyerangnya Sibak bin
Abdul Uzza. Apabila Hamzah melihat Sibak datang kepadanya, dia berteriak: Mari
ke sini, siapa yang hendak mencari maut! Dipukulnya dengan sekali pukulan
kepalanya terus berguling di tanah. Maka pada ketika itulah, aku terus
mengacung-acungkan pisau bengkokku itu, dan apabila aku rasa sudah tepat
sasaranku, aku pun melemparnya kepada Hamzah mengenai bawah perutnya terus
rnenembusi bawah selangkangnya. Dia mencoba hendak menerkamku, tetapi dia sudah
tidak berdaya lagi, aku lalu meninggalkannya di situ sehinggalah dia mati.
Kemudian aku kembali lagi untuk mengambil pisau bengkokku itu, dan aku
membawanya ke perkemahan kami. Aku duduk di situ menunggu, dan aku tidak punya
hajat yang lain, selain dari hendak membunuh Hamzah agar aku dapat dimerdekakan
oleh tuanku.
Apabila kami kembali ke Makkah, seperti yang dijanjikan oleh tuanku, aku
dimerdekakan. Aku terus tinggal di Makkah. Dan apabila kota Makkah ditakluki
oleh Rasulullah SAW aku pun melarikan diri ke Tha’if dan menetap di sana.
Apabila rombongan orang-orang Tha’if bersiap-siap hendak menemui Rasulullah SAW
untuk memeluk Islam, aku merasa serba salah tidak tahu ke mana harus melarikan
diri. Aku berfikir, apakah aku harus melarikan diri ke Syam, atau ke Yaman,
ataupun ke negeri-negeri lainnya, sampai kapan aku akan menjadi orang buruan?!
Demi Allah, aku merasakan diriku susah sekali. Tiba-tiba ada orang yang datang
kepadaku memberi nasehat: Apa yang engkau susahkan? Muhammad tidak membunuh
orang yang masuk ke dalam agamanya, dan menyaksikan syahadat kebenaran! Aku
tidak ada jalan melainkan menerima nasehat itu. Aku pun menuju ke Madinah untuk
menemui Rasulullah SAW Memang tiada disangka-sangkanya melainkan dengan
tiba-tiba Beliau melihatku berdiri di hadapannya menyaksikan syahadat kebenaran
itu. Beliau lalu menoleh kepadaku seraya berkata: Apakah engkau ini Wahsyi?
Jawabku: Saya, wahai Rasulullah! Beliau berkata lagi: Duduklah! Ceritakanlah
bagaimana engkau membunuh Hamzah?! Aku lalu menceritakan kepadanya seperti aku
menceritakan sekarang kepada kamu berdua.
Apabila selesai bercerita, Beliau berkata kepadaku: Awas! Jangan lagi
engkau datang menunjukkan wajahmu kepadaku! Kerana itu aku terus-menerus
menjauhkan diri dari Rasulullah SAW supaya Beliau tidak melihat wajahku lagi,
sehinggalah Beliau wafat meninggalkan dunia ini. Kemudian apabila kaum Muslimin
keluar untuk berperang dengan Musailimah Al-Kazzab, pemimpin kaum murtad di
Yamamah, aku turut keluar untuk berperang dengannya. Aku bawa pisau bengkok
yang membunuh Hamzah itu. Ketika orang sedang gawat bertempur, aku mencuri-curi
masuk dan aku lihat Musailimah sedang berdiri dan di tangannya pedang yang
terhunus, maka aku pun membuat persiapan untuk melemparnya dan di sebelahku ada
seorang dari kaum Anshar yang sama tujuan denganku. Aku terus
mengacung-acungkan pisau itu ke arahnya, dan apabila aku rasa sudah boleh
mengenai sasarannya, aku pun melemparkannya, dan mengenainya, lalu orang Anshar
itu menghabiskan hidupnya dengan pedangnya. Aku sendiri tidak memastikan siapa
yang membunuh Musailimah itu, apakah pisau bengkokku itu, ataupun pedang orang Anshar
tadi, hanya Tuhan sajalah yang lebih mengetahui. Jika aku yang membunuhnya,
maka aku telah membunuh orang yang terbaik pada masa hayat Rasulullah SAW dan
aku juga sudah membunuh orang yang paling jahat sesudah hayat Beliau.
(Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:18)
(Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:18)
Bukhari telah
mengeluarkan dari Ja’far bin Amru sebagaimana cerita yang
sebelumnya, cuma apabila orang ramai berbaris untuk berperang, lalu keluarlah
Sibak seraya menjerit: Siapa yang akan melawanku? Hamzah pun keluar untuk
melawannya, lalu Hamzah berkata kepadanya: Hai Sibak! Hai putera Ummi Anmar,
tukang sunnat orang perempuan! Apakah engkau hendak melawan Allah dan RasulNya?
Hamzah lalu menghantamnya dengan suatu pukulan yang keras menghabiskannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar