Sayyidina Al Imam Ali Bin Abi Thalib KW
Bulan Rajab adalah bulan kelahiran Sayyidina
Ali kw, karena itu kita akan mengungkap sekelumit dari sisi kehidupan
beliau.Sayyidina Ali adalah sepupu pertama Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Abu
Thalib dan ayah Nabi SAW, Abdullah, adalah anak Abdul Muthalib dari satu ibu.
Seperti nama istrinya, Ibu Sayyidina Ali juga bernama Fatimah. Fatimah adalah
putri Asad putranya Hasyim yang terkenal itu, dan Asad adalah saudara Abdul
Muthalib. Jadi ayah dan ibu Sayyidina Ali adalah saudara sepupu.
Sayyidina Ali lahir pada tanggal 13
Rajab, sekitar 610 M, yakni 23 tahun sebelum Hijrah. Saat Ali lahir, ayahnya
dan saudara sepupunya, Nabi Muhammad SAW sedang bepergian ke luar kota Makkah.
Ibunya memberi nama Asad dan Haidar. Ayahnya menamainya Zaid. Tapi ketika Nabi
SAW pulang, beliau merawat sepupu kecilnya ini dan menamainya Ali, dan
mengatakan bahwa ini adalah nama yang ditetapkan Allah untuknya. Diantara
sekian kunyah-nya (nama panggilan yang mengungkapkan rasa hormat),
yang paling terkenal adalah Abul
Hasan, Abus
Sibtain
dan Abu
Turab. Gelar-gelarnya adalah Murtadha (yang terpilih), Amirul Mukminin (Pemimpin kaum Mukmin), Imamul Muttaqin (Imam orang-orang bertakwa).
Ibnu Abil Hadid, pensyarah kitab Nahjul Balaghah
mengutip perkataan Ibnu Abbas. Kata Abbas, “Pernah aku bertanya kepada ayahku: ‘Ayah, sepupuku Muhammad memiliki
banyak anak, yang semuanya meninggal ketika masih kecil, siapa diantara mereka
yang paling dicintai?’
Ayahnya menjawab, “Ali bin Abi
Thalib.” Aku berkata, “Ayah, yang aku tanyakan tentang
anak-anaknya?” Dia
menjawab, “Nabi Muhammad SAW mencintai Ali
lebih dari mencintai seluruh putranya. Ketika Ali masih
kecil, aku tak pernah melihat dia terpisah dari Muhammad barang setengah jam
sekalipun, kecuali kalau Nabi SAW bepergian untuk beberapa urusan. Aku tidak pernah melihat seorang ayah mencintai anaknya
sebesar Nabi SAW mencintai Ali dan aku tidak pernah melihat seorang anak
sedemikian patuh, sedemikian lengket dan mencintai ayahnya seperti Ali
mencintai Nabi SAW.”
Ali mulai bertindak sebagai pengawal
Nabi SAW bahkan ketika usia 14 tahun. Para pemuda Quraisy, atas anjuran orang
tua mereka, sering melempari Nabi dengan batu. Ali memenuhi tugas sebagai
pembela Nabi. Dia jatuhkan para pemuda itu, merobek hidung satu musuh,
merontokkan gigi musuh lainnya serta membanting yang lainnya. Dia sering
bertarung melawan orang-orang yang lebih tua darinya. Dia sendiri sering
terluka, tapi dia tidak pernah meninggalkan tugas yang dia pilih sendiri.
Selang beberapa hari, dia mendapat nama panggilan Qadhim (pembanting) dan tidak seorang pun berani melempar
sesuatu kepada Nabi ketika Ali mendampinginya dan dia tidak akan pernah
membiarkan Nabi pergi sendirian. Pengorbanannya pada malam menjelang hijrah dan
perjungannya di seluruh medan tempur adalah bukti nyata kecintaannya yang amat
mendalam kepada Nabi SAW.
Allamah Muhammad Mustafa Beck Najib, filosof Mesir terkenal dan
Professor Studi Islam Universitas Al-Azhar, dalam bukunya Himayatul Islam,
berkata: “Apa yang bisa dikatakan tentang Imam ini? Sangat sulit menjelaskan
sifat dan watak personal Imam seutuhnya. Cukuplah kita sadari bahwa Nabi SAW
memberinya gelar gerbang ilmu dan hikmah. Dia pribadi yang paling berilmu,
paling berani dan orator ulung serta penceramah paling fasih. Ketakwaannya,
kecintaannya kepada Allah, ketulusan dan ketabahannya dalam menjalankan agama
adalah diantara derajatnya yang begitu tinggi sehingga tak seorang pun dapat
bercita-cita untuk mencapainya. Dia politikus teragung karena membenci
diplomasi dan mencintai kebenaran serta keadilan, kebijakan politiknya adalah
sebagaimana yang diajarkan Allah. Dia dicintai semua orang, dan setiap orang
memberikan tempat di hatinya untuk Imam. Dia orang yang memiliki karakter
begitu unggul dan agung serta watak yang begitu luhur dan tiada tara, sehingga
banyak ilmuwan yang takjub mempelajarinya dan membayangkannya sebagai manifestasi
wakil Allah. Banyak di antara Yahudi dan Kristen yang mencintai dia, dan para
filosof diatara mereka pun yang kebetulan tahu ajaran-ajarannya membungkukkan
diri di depan lautan ilmunya yang tak tertandingi.”
Sejarawan Islam, Masudi dalam Sirah Al-Halabiyya, mengatakan: “Jika nama agung
sebagai Muslim pertama, seorang kawan setia Nabi di pengasingan, kawan
seperjuangan Nabi dalam menegakkan keimanan, sahabat karib Nabi dalam kehidupan
dan saudara Nabi. Jika pengetahuan sejati tentang spirit ajaran-ajaran Nabi dan
Al-Quran,jika penegasian ego diri dan penegakan keadilan, kejujuran, kesucian
dan cinta akan kebenaran, kesemuanya layak mendapatkan keagungan, maka kita
harus menganggap Ali sebagai yang paling terkemuka. Kita akan sia-sia mencari
berbagai keistimewaan yang telah dianugrahkan Allah kepada Ali, baik dari
kalangan pendahulunya kecuali Nabi Muhammad atau dari para penerusnya.”
Masudi lalu berkata lagi: “Kesepakatan umum diantara para sejarawan dan
teolog Muslim adalah bahwa Ali tidak pernah menjadi non-Muslim dan tidak pernah
sekali pun menyembah berhala. Karenanya, pertanyaan kapan dia memeluk Islam,
tidak dan tidak akan pernah muncul.”
Menikah dengan Sayyidah Fatimah
Sayyidina Ali menikah dengan
Sayyidah Fatimah, putri Nabi SAW dari Sayyidah Khadijah. Dia bertunangan dengan
Fatimah beberapa hari sebelum berangkat Perang Badar, tapi pernikahannya
dirayakan tiga bulan setelahnya. Dari Sayyidina Ali, Fatimah memiliki 4 anak
dan yang anak kelima (Muhsin) mengalami keguguran ketika masih berada dalam
kandungan. Penyebab kecelakaan ini dan juga penyebab kematian Sayyidah Fatimah
adalah peristiwa yang amat tragis dan menyedihkan dalam hidup mereka. Nama
putra-putri mereka adalah Imam Hasan,Imam Husain,Sayyidah Zainab (istri Abdullah ibn Ja’far) dan Sayyidah Ummu Kultsum (istri Ubaydillah ibn Ja’far). Selama Fatimah hidup, Sayyidina Ali tidak
menikahi wanita lain. Sepeninggal Fatimah dia menikahi Yamamah dan sepeninggal Yamamah, menikah lagi dengan seorang
wanita bernama Hanafia, yang darinya Ali memiliki seorang anak bernama Muhammad Hanafia. Sayyidina Ali memiliki banyak anak yang beberapa
diantaranya memiliki tempat tak tertandingi dalam sejarah kemanusiaan, seperti Sayyidina
Hasan, Sayyidina
Husain (Pahlawan
Karbala),Sayyidah Zainab (Pembela Islam di Kufah dan Damaskus
setelah Tragedi Karbala), Abbas (Panglima Tentara Husain) dan Sayyidina
Muhammad Hanafia (Pahlawan
dalam Perang Nahrawan).
Sikap Sayyidina Ali Kepada Musuh
Talha ibn Abi Talha bukan hanya
musuh sengit Islam, tapi juga musuh Nabi SAW dan Sayyidina Ali. Upayanya untuk
mencelakakan kedua orang ini serta misinya sudah menjadi fakta historis.Dalam
perang Uhud, dia adalah pengusung panji pasukan Quraisy. Ali menghadapi dia dan
berduel dengannya, menyerang dia dengan pukulan telak hingga terhuyung-huyung
dan jatuh tersungkur. Ali meninggalkannya dalam keadaan terjatuh. Banyak
panglima Muslim memerintahkan agar Ali menghabisinya, dengan mengatakan bahwa
dia adalah musuhnya yang paling jahat. Ali menjawab: “Musuh atau bukan musuh, sekarang dia tidak berdaya, dan aku tidak
bisa menyerang seseorang yang tidak berdaya. Jika dia bisa bertahan biarkan
saja dia hidup selagi masih berumur.” Dalam
Perang Jamal, di tengah pertempuran budaknya Qambar membawa sedikit air dan
berkata: Tuanku, matahari amat panas dan Anda masih terus akan bertempur,
meminum segelas air dingin ini bisa menyegarkan Anda? Dia melihat
sekitarnya dan menjawab: “Bisakah aku minum
ketika beratus-ratus orang mati terkapar dan sekarat karena kehausan dan
terluka parah? Daripada membawakan air untukku, bawa sedikit orang dan kasih
minum setiap orang yang terluka ini.” Qambar menjawab: “Tuanku,
mereka semuanya musuh kita.” Dia berkata: “Mungkin
mereka musuh kita, tapi mereka manusia. Pergilah dan rawat mereka.”
Waktu itu bulan Ramadhan, sudah tiba
waktu shalat subuh. Masjid Kufah sudah penuh. Sayyidina Ali sedang sujud dan
ketika mau mengangkat kepalanya, sebuah tebasan telak mengenai kepalanya yang
membuatnya luka parah. Suasana di masjid menjadi gempar dan kacau. Pembunuh
melarikan diri. Orang-orang berhasil menangkap dan membawanya ke hadapan
Sayyidina Ali yang terluka dan bersimbah darah. Beralaskan sajadah Sayyidina
Ali berbaring diatas pangkuan putra-putranya. Dia tahu tebasan itu sangat fatal
dan dia tidak akan bertahan lagi. Tetapi ketika pembunuhnya digelandang ke
hadapannya, dia melihat jerat yang memborgolnya terlalu kencang hingga menyayat
dagingnya. Ali melirik kepada kaum Muslim dan berkata: “Seharusnya kalian jangan begitu kejam kepada sesama,
kendorkan talinya, tidakkah kau lihat tali ini melukai dia dan membuatnya
kesakitan.”
Peribadatan Sayyidina Ali
Sebagai hasil binaan langsung
Rasulullah SAW, maka sifat-sifat Sayyidina Ali terbentuk persis seperti
sifat-sifat Rasulullah SAW dalam semua seginya,baik ibadah, pemikiran maupun
tingkah laku.Ia mengikuti jalan yang ditempuh Rasulullah SAW dan menapaki jejak-jejak
langkahnya. Al-Qusyairi menuturkan dalam Tafsir-nya bahwa apabila
datang waktu shalat, wajah Sayyidina Ali tampak pucat dan tubuhnya gemetar.
Karena itu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, mengapa begitu. Ali
menjawab, “Telah datang waktu amanat yang dulu
ditawarkan Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka
menolaknya, dan kemudian diterima oleh manusia sekalipun manusia ini lemah.
Karena itu, aku tidak tahu apakah aku akan bisa memikul amanat itu dengan baik
ataukah tidak.” Sulaiman ibn Al-Mughirah meriwayatkan dari ibunya, katanya, “Aku bertanya kepada Ummu Sa’id,
seorang jariah Sayyidina Ali tentang Shalat beliau di bulan Ramadhan.” Ummu
Sa’id menjawab, ”Ramadhan
dan Syawal, sama saja. Beliau selalu shalat di sepanjang malam.”
Allah SWT begitu agung dalam
pandangan Sayyidina Ali, sehingga ibadah yang dilakukan merupakan ungkapan dari
rasa cinta dan kerinduan kepada-Nya. Beliau mengungkapkan hubungan dirinya
dengan Allah melalui ucapannya yang berbunyi, ”Ilahi,
aku tidak menyembah-Mu lantaran takut siksa-Mu, dan tidak pula berharap akan
pahala dari-Mu. Tetapi aku menyembah-Mu semata-mata lantaran aku mendapatkan-Mu
sebagai Dzat yang semestinya disembah.”
Sayyidina Ali Penghulu Para Sufi
Dalam sebuah buku yang berjudul Hilyah
al-Awliya’, diceritakan sejarah para sufi (wali) dari seluruh zaman.
Ali bin Abi Thalib menempati urutan pertama. Mengapa harus dimulai dari Ali bin Abi Thalib ? Bukankah sahabat itu banyak ? Itu disebabkan karena di dalam tasawuf,
sahabat yang menjadi rujukan adalah Sayyidina Ali. Tokoh-tokoh tasawuf di
seluruh negeri Islam bersumber kepadanya dan berhenti di hadapannya. Pada
Ali-lah ilmu tarekat bersumber dan pada Ali-lah ilmu tarekat berhenti. Hal
tersebut ditegaskan oleh Asy-Syibli, Al-Junayd, Abu Yazid al-Busthami, Abu Mahfuzh al-Kharkhi, dan lain-lain. Begitulah Sayyidina Ali! Sejarah
agung sarat dengan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan keluhuran budi dan
perilakunya, keberanian dan keluasan ilmunya, keutamaan serta kemuliaannya.
Salam atas Wasyi Rasulullah, Salam atas penghulu Para
Wali, Salam atas Putra Ka’bah, Salam atas Suami Putri Nabi, Salam atas Ayahanda
Al-Hasan dan Al-Husain, Salam atasmu Wahai Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib KW
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Kisah 1
Sid
bin Musayyab
menceritakan bahwa ia dan para sahabat
menziarahi makam-makam di Madinah bersama `Ali. Ali lalu berseru, “Wahai para penghuni kubur, semoga dan rahmat dari Allah
senantiasa tercurah kepada kalian, beritahukanlah keadaan kalian kepada kami
atau kami akan memberitahukan kcadaan kami kepada kalian.” Lalu
terdengar jawaban, “Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah
senantiasa tercurah untukmu, wahai amirul mukminin. Kabarkan kepada kami
tentang hal-hal yang terjadi setelah kami.” Ali berkata, “Istri-istri kalian sudah menikah lagi, kekayaan kalian
sudah dibagi, anak-anak kalian berkumpul dalam kelompok anak-anak yatim,
bangunan-bangunan yang kalian dirikan sudah ditempati musuh-musuh kalian.
Inilah kabar dari kami, lalu bagaimana kabar kalian?” Salah satu mayat menjawab, “Kain kafan telah
koyak, rambut telah rontok, kulit mengelupas, biji mata terlepas di atas pipi,
hidung mengalirkan darah dan nanah. Kami mendapatkan pahala atas
kebaikan yang kami lakukan dan mendapatkan kcrugian atas kewajiban yang yang
kami tinggalkan. Kami bertanggung jawab atas perbuatan kami.” (Riwayat Al-Baihagi)
Kisah 2
Dalam kitab Al-Tabaqat,
Taj
al-Subki
meriwayatkan bahwa pada suatu malam, `Ali
dan kedua anaknya,
Hasan
dan Husein
r.a. mendengar seseorang bersyair:
Hai Zat yang mengabulkan doa orang yang terhimpit kezaliman
Wahai Zat yang menghilangkan penderitaan, bencana, dan sakit
Utusan-Mu tertidur di rumah Rasulullah sedang orang-orang kafir mengepungnya
Dan Engkau Yang Maha Hidup lagi Maha Tegak tidak pernah tidur
Dengan kemurahan-Mu, ampunilah dosa-dosaku
Wahai Zat tempat berharap makhluk di Masjidil Haram
Kalau ampunan-Mu tidak bisa diharapkan oleh orang yang bersalah
Siapa yang akan menganugerahi nikmat kepada orang-orang yang durhaka.
Wahai Zat yang menghilangkan penderitaan, bencana, dan sakit
Utusan-Mu tertidur di rumah Rasulullah sedang orang-orang kafir mengepungnya
Dan Engkau Yang Maha Hidup lagi Maha Tegak tidak pernah tidur
Dengan kemurahan-Mu, ampunilah dosa-dosaku
Wahai Zat tempat berharap makhluk di Masjidil Haram
Kalau ampunan-Mu tidak bisa diharapkan oleh orang yang bersalah
Siapa yang akan menganugerahi nikmat kepada orang-orang yang durhaka.
`Ali lalu menyuruh
orang mcncari si pelantun syair itu. Pelantun syair itu datang menghadap Ali
seraya berkata, “Aku, ya Amirul mukminin!” Laki-laki itu menghadap sambil
menyeret sebelah kanan tubuhnya, lalu berhenti di hadapan All. Ali bertanya, “Aku telah mendengar syairmu, apa yang menimpamu?” Laki-laki itu menjawab, “Dulu aku sibuk
memainkan alat musik dan melakukan kemaksiatan, padahal ayahku sudah
menasihatiku bahwa Allah mcmiliki kekuasaan dan siksaan yang pasti akan menimpa
orang-orang zalim. Karena ayah terus-menerus menasihati, aku memukulnya. Karenanya,
ayahku besumpah akan mendoakan keburukan untukku, lalu ia pergi ke Mekkah untuk
memohon pertolongan Allah. Ia berdoa, belum selesai ia berdoa, tubuh sebelah
kananku tiba-tiba lumpuh. Aku menyesal atas semua yang telah aku lakukan, maka
aku meminta belas kasihan dan ridha ayahku sampal la berjanji akan mendoakan kebaikan
untukku jika Ali mau berdoa untukku. Aku mengendarai untanya, unta betina itu
melaju sangat kencang sampai terlempar di antara dua batu besar, lalu mati di
sana.”
`Ali lalu berkata,
“Allah akan meridhaimu, kalau ayahmu
meridhaimu.” Laki-laki itu menjawab, “Demi Allah, demikianlah
yang terjadi.” Kemudian ‘Ali bcrdiri, shalat beberapa rakaat, dan berdoa kepada
Allah dengan pelan, kemudian berkata, “Hai orang
yang diberkahi, bangkitlah!” Laki-laki itu berdiri, berjalan, dan
kembali sehat seperti sedia kala. `Ali berkata, “Jika
engkau tidak bersumpah bahwa ayahmu akan meridhaimu, maka aku tidak akan
mendoakan kebaikan untukmu.”
Kisah 3
Fakhrurrazi yang hanya sedikit memasukkan cerita-cerita tentang
karamah para sahabat dalam kitabnya, juga meriwayatkan bahwa seorang budak
kulit hitam penggemar `Ali mencuri. Budak itu diajukan kepada Ali dan ditanya, “Betulkah kau mencuri?” la menjawab, “Ya,” maka `Ali memotong tangannya. Budak
itu berlalu dari hadapan `Ali, kemudian berjumpa dengan
Salman al-Farisi
dan Ibnu
al-Kawwa’. Ibnu al-Kawwa’ bertanya, “Siapa yang
telah memotong tanganmu?” Ia menjawab, “Amirul mukminin, pemimpin
besar umat muslim, menantu Rasullah, dan suami Fatimah.” Ibnu al-Kawwa’
bertanya, “la telah memotong tanganmu dan kamu masih juga memujinya?”
Budak itu menjawab, “Mengapa aku tidak memujinya? Ia memotong tanganku
sesuai dengan kebenaran dan berarti membebaskanku dari neraka.”
Salman
mendengarkan penuturan budak itu, lalu menceritakannya kepada Ali. Selanjutnya
Ali memanggil budak hitam itu, lalu meletakkan tangan yang telah dipotong di
bawah lengannya, dan menutupnya dengan selendang, kemudian Ali memanjatkan doa.
Orang-orang yang ada di sana tiba-tiba mcndengar seruan dari langit, “Angkat
selendang itu dari tangannya!” Ketika selendang itu diangkat, tangan budak
hitam itu tersambung kembali dengan izin Allah.
Kisah 4
Dalam kitab Al-I`tibar,
Usamah
bin Munqidz
mengemukakan kisah yang didengarnya dari Syihabuddin
Abu al-Fath, pelayan Mu’izuddaulah
bin Buwaihi di Mosul pada tanggal 18 Ramadhan 566 M. Diceritakan bahwa ketika
Syihabuddin berada di dalam Masjid Shunduriyah di pinggir kota Anbar daerah
Tepi Barat, Khalifah Al-Muqtafi datang berkunjung bersama salah seorang
menterinya. AI-Mugtafi memasuki masjid tersebut, yang dikenal dengan sebutan
Masjid Amirul Mukminin Ali, dengan memakai baju biasa dan menyandang pedang
yang hiasannya dari besi. Tak seorang pun mengetahui bahwa ia adalah seorang
khalifah, kecuali orang-orang yang telah mengenalnya. Pengurus masjid mendoakan
sang menteri. Lalu sang menteri berkata, “Celaka, doakanlah khalifah!”
Kemudian Khalifah
Al-Mugtafi berkata kepada menterinya, “Tanyakan sesuatu yang bermanfaat
pada pengurus masjid itu. Katakan padanya bahwa dulu pada masa pemerintahan Maulana
Al-Mustazhhir, aku melihat la menderita sakit di wajahnya. Wajahnya penuh
bisul schingga jika mau makan, bisulnya harus ditutup dengan sapu tangan, agar
makanan bisa masuk ke mulutnya.”
Pengurus masjid
itu menjelaskan, “Seperti Anda ketahui, aku berulang kali datang ke masjid ini
dari Anbar. Suatu hari, ada seseorang menemuiku dan berkata, `Kalau engkau
berulang kali menemui si Fulan setiap datang dari Anbar, seperti engkau
berulang kali datang ke masjid ini, niscaya si Fulan akan memanggilkan tabib
untukmu yang bisa menghilangkan penyakit di wajahmu.’ Perkataan orang itu
merasuk ke hatiku dan menghimpit dadaku. Lalu aku tertidur pada malam itu dan
bermimpi bertemu amirul mukminin Ali bin Abi Thalib yang tengah berada dalam
masjid tersebut seraya bertanya, `Lubang apa ini?’ Maksudnya adalah sebuah
lubang di tanah. Kemudian aku mengadukan penyakit yang menimpaku tetapi `Ali
berpaling dariku. Maka aku kembali mengadukan penyakitku dan perkataan yang
diucapkan oleh lelaki yang menemuiku di masjid tadi. Ali berkata, `Engkau termasuk orang yang menginginkan dunia.’ Kemudian
aku terbangun, dan tiba-tiba bisul-bisul di wajahku lenyap.”
Khalifah
Al-Mugtafi berkata, “Ia benar,” lalu menoleh ke arah Syihabuddin dan
berkata, “Bicaralah pada pengurus masjid itu, cari tahu apa yang la minta,
tuliskan permintaannya disertai tanda tangannya, dan berikan padaku untuk
kutandatangani. “
Selanjutnya
Syihabuddin berbincang-bincang dengan pengurus masjid itu, dan pengurus masjid
itu bercerita, “Aku memiliki istri yang sedang menyusui anak dalam keadaan
hamil dan beberapa anak perempuan. Setiap bulan, aku membutuhkan 3 dinar.” Syihabuddin
menuliskan permintaan pengurus masjid Ali itu beserta alamatnya dan Al-Mugtafi
menandatanganinya.
Al-Mugtafi kemudian menyuruh Syihabuddin untuk menyampaikan permintaan pengurus masjid itu ke dewan keuangan. Syihabuddin membawa berkas permintaan pengurus masjid itu ke dewan keuangan dan dewan menandatanganinya tanpa membacanya serta mengambil bagian tulisan khalifah Al-Mugtafi. Ketika sekretaris dewan membuka tulisan itu untuk dipindahkan, ia menemukan tulisan khalifah Al-Mugtafi di bawah tanda tangan pengurus masjid Ali yang berbunyi, “Seandainya ia meminta lebih dari itu, tentu akan diberi.”
Al-Mugtafi kemudian menyuruh Syihabuddin untuk menyampaikan permintaan pengurus masjid itu ke dewan keuangan. Syihabuddin membawa berkas permintaan pengurus masjid itu ke dewan keuangan dan dewan menandatanganinya tanpa membacanya serta mengambil bagian tulisan khalifah Al-Mugtafi. Ketika sekretaris dewan membuka tulisan itu untuk dipindahkan, ia menemukan tulisan khalifah Al-Mugtafi di bawah tanda tangan pengurus masjid Ali yang berbunyi, “Seandainya ia meminta lebih dari itu, tentu akan diberi.”
Kisah 5
Kisah lainnya
menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw menyuruh Abu Dzar memanggil Ali. Sesampai
di rumah Ali, Abu Dzar melihat alat penggiling sedang menggiling gandum padahal
tidak ada seorang pun di sana. Kemudian Abu Dzar menceritakan hal tersebut
kepada Nabi Saw Beliau berkata, “Hai
Abu Dzar! Tahukah kau bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat yang
berjalan-jalan di bumi dan mereka diperintahkan untuk membantu keluarga Nabi
Muhammad Saw.”
(Dikemukakan olch
Al-Shubban dalam kitab Is`af
al-Raghibin dan Al Mala’ dalam kitab Sirahnya)
1 komentar:
Cerita kejanggalannya Ali RA.sulit diterima
Posting Komentar